Oleh KAJITOW ELKAYENI…
PDIP baru saja punya hajat, pengarahan kader untuk penguatan soliditas partai menuju Pemilu 2024. Seluruh kader dan tokoh internal partai di Jateng diundang. Kecuali Ganjar Pranowo. Dalam pertemuan besar itu, ia menjadi sasaran sindiran. Sejak sekarang sudah tampak upaya untuk mengucilkannya. Bunga yang sedang mekar itu hendak direnggut dan dibuat layu sebelum waktunya.
Saya kasihan melihat Ganjar ini. Duit dia gak punya. Tim medsos cuma ada admin. Sementara pasukan darat yang militan juga tidak ada. Ganjar ini praktis glundung begitu saja. Ia bukan politisi yang memiliki struktur mesin politik yang kuat. Sudah begitu, langkahnya terus saja dihambat.
Bagi Ganjar, 2024 itu penuh dengan perjuangan. Ia ibarat masuk ke palagan tanpa baju zirah, tanpa senjata dan tangannya dalam keadaan terikat. Sementara lawan-lawannya nggegirisi. Kuat dan punya duit tak berseri.
Coba bandingkan Anies. TGUPP yang bejibun itu mesin dia. Tim medsosnya kuat. Para taipan ada di belakangnya. Sebab Anies ini dinilai ramah dengan orang-orang berkantong tebal itu. Kebijakannya bisa dinego. Sementara di KPK ada sepupunya. Mau ngapain juga dia aman dan sejahtera. Pendek kata, Anies itu hanya minus dukungan partai saja. Tapi kita telah tahu, PKS sudah ngiler dan siap bertarung habis-habisan untuknya. Ormas garis keras siap takbir dan konvoi di jalan-jalan. Tugas Anies cukup mudah, tinggal menebar kata-kata indah di atas podium dan memprovokasi kelompok Islam garis keras untuk bisa ditunggangi.
Sementara Ganjar itu anak kandung PDIP. Darahnya benar-benar merah. Suwitanya ke Megawati boleh diadu. Di kalangan banteng, Ganjar itu tipikal orang yang “pejah-gesang nderek Bu Mega”. Apapun kata Mega, seberat apapun itu, Ganjar akan melaksanakan sebaik-baiknya.
Sejarah mencatat, sejak remaja Ganjar telah mendukung Megawati. Ketika tahun 1996 itu ada perebutan kekuasaan partai antara Megawati dan Soerjadi. Sebagai kader GMNI, Ganjar jelas ada di belakang Mega. Saking setianya, ia harus bersitegang dengan keluarganya, yaitu bapaknya yang Polisi dan kakaknya yang Hakim, sebab saat itu pejabat publik terdoktrin untuk patuh pada Orde Baru dan Golkarnya. Termasuk orang tua dan saudara Ganjar.
Bagi Ganjar, Mega itu tokoh panutan. Seorang ibu ideologis yang mengajarkan langkah politik dan kepribadian sebagai seorang pemimpin. Dari seorang Mega yang sangat berpengalaman itu, Ganjar menimba ilmu dan mengasah kesetiaan pada prinsip hidup. Namun, betapapun besar pengabdian dan rasa hormatnya pada Mega, ada saja elit partai yang tak senang dengan sosok Ganjar. Ia bintang yang bercahaya terlalu terang. Pulung dan keberuntungan selalu berpihak padanya. Posisi Ganjar yang menjulang sampai hari ini berkat adanya pulung tadi.
Ganjar menjadi anggota DPR karena menggantikan kader PDIP Jakob Tobing yang mendapat tugas sebagai Duta Besar untuk Korea Selatan. Dalam perebutan kursi DPR itu sebenarnya nama Ganjar tidak lolos. Ini yang saya maksud pulung tadi. Ada saja jalan yang mengantarkannya ke Senayan. Sesudah itulah karier Politik Ganjar meroket.
Namanya harum, aura kepemimpinannya memancar. Ia menjadi idola baru.
Meskipun di balik keberadaan pulung Ganjar tadi, tentu saja ada tantangan berat yang harus dia hadapi. Jalan ke depan yang terjal penuh onak dan duri itu mesti ia jalani dengan tabah. Ia dizalimi. Dikucilkan. Namanya hendak diburamkan. Cahayanya yang terang sedang diredupkan. Padahal dalam hal ini Ganjar tidak bersalah. Yang membuat namanya moncer dan digandrungi banyak orang adalah Tuhan. Sebagai wayang, ia hanya sendiko dhawuh. Patuh menerima takdir. Apapun yang digariskan sang dalang.
Ia bukan jenis politisi yang ngoyo. Mendanai mesin politik yang besar dan sibuk jilat sana-jilat sini. Ganjar hanya memaksimalkan orang-orang di dekatnya. Untuk ngurus medsos, menemani gowes ke mana-mana. Ia tidak punya bohir. Tidak punya jaringan politik yang kuat. Apalagi massa fanatik yang siap berdarah-darah.
Ganjar hanya sendiri, berjalan dengan rawan di tengah upaya banyak pihak yang ingin menjatuhkannya.
Sampai hari ini, ia hanyalah anak kandung PDIP. Ganjar tak bisa main mata ke partai lain, apalagi ke PKS. Darahnya yang nasionalis tulen tentu tidak akan diterima. Maka ia hanya bisa pejah-gesang nderek Bu Mega. Kalau partai yang dicintai dan diabdikan diri sepenuh hati itu ingin menghabisinya, maka ia tak bisa menolaknya. Sebagai wong cilik, yang bisa dilakukannya hanya pasrah saja.
Ini adalah ujian bagi seseorang yang penuh hormat dan setia. Yang tegar Pak Ganjar. Lemah teles, Gusti Allah sing bales…