Seide.id -Kuberi sebuah cerita, silahkan renungkan sendiri sesuai konteks masing-masing.
Aruna Candra ingin pergi ke Bogor. Tujuan utama adalah piknik menggelar tikar di Kebun Raya Bogor dan membaca buku sambil menikmati pemandangan pohon-pohon yang menghutan tetapi dibuat rapiii…
Kalau Aruna Candra adalah seorang yang rasional, fungsional dan fokus pada tujuan, mustinya Aruna Candra sibuk memikirkan cara yang paling efektif dan efisien menuju ke Bogor : apakah dengan menggowes sepeda dari Jakarta? Dengan kereta api? Naik bis? Mengendara mobil? Atau malah jalan kaki?
Setelah moda kendaraannya dipilih yang paling jitu, sudah pula mengecek ramalan cuaca bahwa hari H akan cerah, maka kini tinggal menentukan : buku apa yang akan dibawa? Apakah akan membawa tikar dan keranjang piknik juga? Atau membawa duit saja, lantas membeli minuman dan makanan di sana agar praktis..?
Setelah mengecek semua komponen biaya dan harganya, setelah memutuskan dan menyusun rencana, maka hal yang harus dilakukan adalah pelaksanaan.
Besok paginya jalan.
Kelar kan? Simpel.
Ya, seharusnya sesimpel itu… Tetapi tidak banyak orang sesimpel yang seharusnya. Termasuk si Aruna Candra ini.
Aruna Candra malah merepotkan diri dengan hal yang tidak prinsip… Dia maunya ke Bogor itu naik Limousine, warnanya harus hijau lumut, dan yang nyetir adalah David Beckham atau Chris Hemsworth. Emoh kalau Nicholas Saputra, kurang mbrewok.
Kapan nyampenya..?
Jangankan sampai. Berangkat pun tidak akan terjadi. Apalagi kesampaian membaca buku di Kebun Raya Bogor. Padahal ini hanya sebuah cita-cita sederhana : bahagia membaca buku, dengan suasana alamiah.
Tapi, dengan aneka syarat itu, saat Lucifer sudah insaf dan berubah menjadi Tinker Bell pun, Aruna Candra masih asik menyirami mimpi-mimpinya.
Aruna Candra itu aku, di jaman dulu.
Aruna artinya merah, Candra artinya bulan. Bulan Merah. Mustinya bulan itu kuning keemasan, sehingga namaku seharusnya : Gauri Candra, eh ini malah berwarna kemerah-merahan. Jadi ini bukan menyindir siapapun.
aku dulu begitu.

Kebanyakan mau. Ngototan. Berambisi besar. Terus meradang dan menerjang. Tapi aku tidak menuntut siapa pun. Kuraih sendiri semua yang kumau. Kusingkirkan semua yang menghalangiku.
Syarat-syaratku tidak realistis dan semuanya sekunder bahkan tersier.
Ingin jodoh, tapi
~ tidak mau kalau caranya dikenal-kenalkan seolah tak mampu cari sendiri. Maunya kenal sendiri.
~ tidak mau kalau cari di biro jodoh. Ih geli!
~tidak mau sama mahasiswa (soalnya belum ketahuan masa depannya). Maunya dari kalangan eksekutif muda.
~ tidak mau kalau umurnya sama atau lebih muda.
~ tidak mau kalau cowonya diajak diskusi malah cengok. Maunya yang pinter dan luas pengetahuannya.
~ tidak mau kalau cara makannya bunyi berdecap-decap.
~ tidak mau kalau dianya tipe genit atau suka ngelawak kanan-kiri nampak konyol. Maunya yang anteng dan agak dingin, tapi baik hati.
~ tidak mau kalau emaknya tipe control freak dan minta disembah.
~ tidak mau kalau calon bapak mertua adalah koruptor : kerja jadi pegawai negeri tapi pamer kalau tajir. Itu bego namanya. Aku tidak mau menikahi keturunan ASN ogeb. Nanti darah anakku tercemar darah maling yang berdandan ala pengabdi negara pelayan masyarakat.
Soal cari kerja, aku juga serewel itu. Silahkan cek :
~ Aku maunya perusahaan besar, kelas nasional. Kalau perlu multinasional. Jadi, kalau ditanya oleh kawan, aku kerja di mana, aku ingin mereka langsung memberikan reaksi ‘Oooh..’ ketika kusebutkan nama perusahaannya.
~ Letaknya juga harus di segitiga emas Jakarta : antara Sudirman, Thamrin, dan Rasuna Said.
~ tidak mau kalau ditugaskan ke cabang lain. Aku ingin ada di tengah suasana yang profesional dan bersih, lengkap dengan taman kota, jalan protokoler dan boulevard yang lebar. Aku suka berada di tengah deru metropolitan. Begitu memompa adrenalin!
~ Suasana di dalam kantornya pun harus menyenangkan : tidak ada office politic-nya. Semua pekerjanya bermutu, sehingga persaingan hanya melulu dilakukan dengan unjuk kerja. Bukan dengan fitnah dan jilatan p4nt4t ke direktur. Aku tidak sudi merunduk, soalnya. Cium tanganpun harus ke orang yang sungguh Guru Kehidupan. Ogah, kalau diwajibkan cium tangan ke sembarang orang semata karena usianya tua.
~ tidak punya aturan ‘mencekik’ soal pakaian kerja (karena aku ingin pakai celana panjang dan boots sama merdekanya dengan pakai rok mini dan blazer).
~ Gajinya harus bagus!
~ Punya kebijakan CSR, dan tidak merusak lingkungan.
Aku mendapatkan semua yang kumau itu…?
Percaya atau tidak, dapat …! Jodoh dan pekerjaan sempurna. Persis seperti semua syaratku.
Aku ini orangnya ngototan? Apa yang kucanangkan, akan kupastikan teraih.
Pertanyaannya : apakah aku bahagia? Ternyata TIDAK.
Setelah agak tua, aku melihat ke belakang dan merenung. Apa yang salah…?
Ternyata fokusku ada pada plating dan garnish. Bukan pada cita rasa dan nutrisi.
Prinsip-prinsip dan nilai hidup yang kuusung itu benar secara moral dan hukum positif. Tapi bukan demi kebenaran, aku menjunjungnya. Dan fokusku bukan pada tujuan utama. Ketika itu aku belum sadar siapa diriku yang sebenarnya.
Belum mengenal my True Self .
Tubuhku cemerlang.
Egoku mengembang besar.
Tapi Jiwaku kering. Padahal, letak kebahagiaan ada di Jiwa.
Yang ‘lapar’ adalah Jiwa, tapi yang kuberi ‘makan’ adalah Tubuh, Ego, dan Kekaguman Masyarakat.
(Nana Padmosaputro)
Ikuti : Orangtua Durhaka. Adakah?