Budaya Korupsi di Dinas Kebudayaan Jakarta

pertunjukan-teater-lewat-djam-malam-3_169

Ungkapan “korupsi sudah menjadi budaya” selama ini ternyata bukan lagi sarkasme atas maraknya kasus korupsi di semua lini kehidupan di negeri tercinta kita. Melainkan realita dimana lembaga kebudayaan di pemerintahan juga menjadi sarang korupsi. Memang ada korupsi – dan ada budaya korupsi – di Dinas Kebudayaan!

OLEH DIMAS SUPRIYANTO

SEBAGAI wartawan yang lama meliput seni dan budaya; pernah tugas liputan di TIM (Cikini), Balai Budaya (Menteng) dan Gedung Kesenian Jakarta (GKJ, Pasar Baru), Ancol dan Taman Mini pada dekade 1980-1990an – dan belakangan ini kerap mondar mandir di TIM – saya tersengat membaca berita penggeledahan Kantor Dinas Kebudayaan di Jl. Gatot Subroto, Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan.

Kejaksaan Tinggi Jakarta mengusut dugaan korupsi di instansi yang menangani berbagai kegiatan seni dan budaya di Jakarta ini, atas dugaan penyimpangan pada kegiatan di Dinas Kebudayaan DKI Jakarta tahun anggaran 2023 senilai lebih dari Rp 150 miliar.

Ungkapan “korupsi sudah menjadi budaya” selama ini ternyata bukan lagi sarkasme atas maraknya kasus korupsi di semua lini kehidupan di negeri tercinta kita. Melainkan realita dimana lembaga kebudayaan di pemerintahan juga menjadi sarang korupsi. Memang ada korupsi – dan ada budaya korupsi – di Dinas Kebudayaan!

Membayangkan Rp150 miliar untuk kegiatan setahun sudah bikin geleng geleng kepala. Bayangkan, jika untuk satu kegiatan habis Rp.500 juta, artinya ada 300 kegiatan per tahun yang ditilep. Begitu banyak seniman yang bisa hidup dan berekspresi.

Dan – sialannya – penilepan uang Pemprov hingga Rp 150 miliar itu dilakukan dengan cara mencairkan dana dari kegiatan fiktif. Bukan sekadar menilep sebagian atau menggelembungkan dana.

“Seolah-olah kegiatan dilaksanakan, dibuktikan dengan stempel tersebut untuk mencarikan anggaran. Padahal, faktanya kegiatan sama sekali tidak ada,” kata Syahron Hasibuan, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasipenkum) Kejaksaan Tinggi Jakarta.

Ada ratusan stempel yang telah dipalsukan disita dalam penggeledahan ini, katanya. Diduga, stempel tersebut digunakan untuk pencarian dana anggaran dinas. Di antaranya stempel sanggar kesenian, stempel UMKM.

Penyidik bidang pidana khusus Kejaksaan Tinggi Jakarta menggeledah lima lokasi dan menyita sejumlah barang bukti seperti beberapa unit laptop, handphone, komputer (PC) dan flashdisk untuk selanjutnya dilakukan analisis forensik.

Penyidik juga menyita uang tunai (yang totalnya) Rp1 miliar, dokumen dan beberapa berkas penting lain disinyalir terkait dengan perkara.

Selain menggeledah Kantor Dinas Kebudayaan Provinsi Jakarta, Jakarta Selatan, khususnya di ruang Kepala Bidang Pemanfaatan Kebudayaan (lantai 14) dan di ruang Kepala Dinas (lantai 15), penggeledahan juga berlangsung di kantor event organizer GR-Pro di kawasan Duren serta tiga rumah tinggal di Kebon Jeruk, dan Matraman, Jakarta.

Penggeledahan aparat Kejati berlangsung selama 12 jam sejak pukul 10.40 WIB lebih pada Rabu (18/12/2024) ini.

Kejati Jakarta, menurut Syahron Hasibuan, telah melakukan penyelidikan sejak November 2024. Hasil penyelidikan, ditemukan adanya perbuatan pidana sehingga status dinaikkan dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan pada 17 Desember 2024.

Kepala Dinas Kebudayaan Jakarta, Iwan Henry Wardhana turut diperiksa aparat Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jakarta atas dugaan terlibat korupsi. Selanjutnya dinonaktifkan dari jabatan kepala dinasnya per Kamis (19/12/2024).

MENGULIK media yang memuat profil Kepala Dinas Kebudayaan Jakarta, yang saya rasa pernah bersalaman dengannya di markas ‘Save TIM’ beberapa bulan lalu, saya terkejut.

Iwan Henry Wardhana ternyata, tidak punya latar belakang kebudayaan. Sebelum ngepos di sana, dia bertugas Dinas Kebersihan, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan. Sejak 2017 jadi Kasudin Pariwisata dan Budaya Jakarta Timur hingga Kepala Dinas Kebudayaan kemudian. Iwan punya jam terbang 26 tahun berada di lingkungan Pemprov DKI Jakarta.

Bekerja di Pemprov DKI Jakarta bermodal ijazah SMA di usia 18 tahun, sebagai staf Kelurahan Jati, Jakarta Timur tahun 1994 – karirnya meningkat dan berpindah ke sejumlah dinas.

Dia lulusan Fak Ekonomi yang melanjutkan S2 di Urban Development Studies dan mendapat gelar Master dari UI pada 2004. Ia mengambil jurusan Doctoral Programme School of Strategic and Global Studies di University of Indonesia pada tahun 2020.

Dia diangkat sebagai Kepala Dinas Kebudayaan Pemprov DKI oleh Gubernur Anies Baswedan. Instansinya merupakan pecahan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan yang kemudian dipisah menjadi Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta Dinas Kebudayaan.

Anies Baswedan pula yang mengangkat Iwan Henry Wardhana sebagai kepala dinas pertama Dinas Kebudayaan Jakarta tersebut. Dan sejak dilantik pada Januari 2020 lalu, pejabat 48 tahun itu tak tergantikan hingga dinonaktifkan dan diusut kasusnya.

Iwan Henry Wardhana mempunyai harta kekayaan senilai Rp9,6 miliar pada laporan tahun 2024 ini. Ada lompatan kekayaan sejumlah Rp3,8 miliar dari laporan tahun sebelumnya, dimana pada 23 Februari 2023, Iwan melaporkan kepemilikan harta kekayaan masih Rp5,8 miliar.

PARA seniman di ibukota, yang saya kenal, banyak mengeluh, karena mengalami sulitnya menyelenggarakan kegiatan – khususnya di TIM. Mahalnya sewa gedung pertunjukkan menjadi kendala mereka untuk memamerkan karya dan bikin pementasan.

Dampaknya, tak ada karya besar dan menumental di TIM yang mencuat, sebagaimana ramai pada dekade 1970-1990an lalu, semasa saya meliput di sana.

Kini terungkap motifnya. Bukan lantaran krisis karya seni dan ekspresi kebudayaan, juga bukan minimnya pendanaan dari Dinas Kebudayaan melainkan anggaran yang dialokasikan ditilep oleh para birokrat dan pejabatnya.

Harus diakui, ada berbagai pameran seni, diskusi kebudayan, peluncuran buku berlangsung rutin di TIM, khususnya di ruang HB Jassin dan Teater Wahyu Sihombing, yang nyata menampilkan wajah menghidupkan kegiatan seni di kota Jakarta. Akan tetapi dari sisi anggaran itu hanyalah kegiatan “recehan”.

Boleh jadi – sekadar menduga duga – kegiatan “recehan” (dari sisi anggaran) itu lah yang dijadikan kedok, dijadikan tameng oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan kaki tangannya, para ASN, EO kroninya buat “pesta anggaran” dengan bermacam kegiatan fiktif yang dicairkan. Sedangkan duitnya masuk kantong pribadi. ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.