Seniman Blacius Subono senantiasa berkarya hingga akhir hayarnya. ( Foto: Istimewa)
Sepertinya Ganjar Pranowo-Mahmud MD ingin mengambil hati masyarakat Solo ( Surakarta) yang dikuasai Gibran Raka Buming ( Walikota Solo) dengan pertunjukan kesenian. Panitia Kampanye menunjuk Seniman ternama dan empu karawitan Blacius Subono sebagai pengarang , pengatur laku, sekaligus berperan sebagai tokoh Semar.
Sosok Semar
Blacius Subono yang dikenal sebagai Subono membuat pagelaran ini dengan judul Durga Mendhak, Sang Kala Sirna”. Sebuah ruwatan yang bermakna dalam.
Makna ruwatan Durga Mendhak Sang Kala Sirna yakni cerita tentang nafsu kuasa yang telah merasuki Durga hingga lupa segalanya. Pranata dan aturan hukum tidak berguna. Dia menginginkan anaknya, Dewasrani berkuasa atas seluruh jagad raya dengan segala cara. Namun rakyat tetap waspada, menolak, dan siap sedia melawannya.
Sebagai seniman asli, meski dimanfaatkan sebagai sosok sentral yang menggarap karya seninya, Subono tetap kritis terhadap pemipin siapapun.
Kepada Ganjar dan Mahfud, seniman Subono yang berperan sebagai Semar mengingatkan agar ingat bahwa tuan seorang kepala negara adalah rakyat. Jabatan yang dipegang merupakan mandat dari rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.
”Separuh dari kerusakan dunia ini karena ulah orang-orang yang merasa penting. Tetapi, separuhnya akibat orang-orang yang serakah,” kata Subono melalui tokoh Semar, yang diperankannya.
Keletihan
Usai pertunjukan Sabtu pagi kemarin itu, Blacius Subono S.Kar, M.Sn, yang setelah pertunjukan, berdiri di belakang Ganjar dan Mahmud, tiba-tiba terjatuh di belakang Ganjar persis dan meninggal pukul 10:22 wib. Kemungkinan capai, kelelahan dan penyakit jantungnya kambuh, menurut adik ipar sekaligus seniman dan dosen ISI Surakarta, Bambang Triatmodjo.
Dalam menggarap karya, Subono dikenal sangat fokus dan tak pernah berhenti berkarya. Seniman besar Subono ini dipilihkan pergi di saat Perayaan Imlek, dengan skenario terindah.
Mas Bono adalah dalang, pengrawsit ( musisi) dan seorang komposer ternama Indonesia yang senantiasa melestarikan nilai-nilai budaya Jawa. Beliau pernah belajar di Sekolah Konservatori Surakarta dan belajar mendalang di Akademi Seni Karawitan Indonesia ( ISI) Surakaraata
Kreativitas Seniman Tanpa Batas
Di kalangan keluarga kami dan penilaian banyak orang, Subono dinilai sebagai musisi pangwarit edankarena kreativitasnya yang melampuai batas imajinasi pengrawit pada umumnya. Banyak gending ciptaannya keluar dari patron atau pakem karawitan, namun tetap indah dan memiliki pesan yang jelas.
Ia akrab dengan seniman sealiran seperti Gendhon Humardani, Rahayu Supanggah, Sardono W Kusumo, Retno Maruti, Elly Luthan, Deddy D Luthan, Ki Anom Suroto, Ki Manatep Sudarsono dan Sudjiwo Tedjo. Lagu-lagunya banyak dipakai Ki Anom Suroto dan KI Mantep Sudarsono saat mendalang.
Mas Bono dikenal sebagai penggarap musik pertunjukan Sendratari Matah Ati yang spektakuler menghebohkan kala itu. Pada galibnya, ia tumbun dalam iklim kompetisi kreativitas kesenian di Solo yang sedang mekar-mekarnya dan sedang moncer-moncernya kala itu
Mengajar di Berbagai Negara
Mas Bono belajar mendalang sejak usia 6 tahun. Ia sering diajak sang ayah yang seniman saat mendalang. Seluruh keluarganya adalah seniman. Usia 12 tahun sudah hafal puluhan gending di luar kepala dengan penjiwaan yang kental. Mas Bono juga menggarap gending perkeliran baru yang inovatif seperti Wayang Wahyu, Wayang Sandoso, Wayang Kancil dan bahkan Wayang Multi Media. “ Tetapi akar saya tetap tradisi,” ujarnya suatu hari di rumahnya.
Karya-karya di atas menurut saya merupakan bentuk eksplorasi Mas Bono terhadap musik tradisional Jawa untuk tetap eksis, diperhatikan dan komunikatif kepada semua usia dan golongan. Terbukti Mas Bono diterima di berbagai kalangan, tua dan muda. Modern dan tradisional.
Mas Bono sering diundang untuk pentas di Amerika Serikat dan Kanada, Ingris, Perancis, Italia, Belanda, Australia, Singapura, Hongkong, dan Jepang. Ia menerima banyak undangan untuk menampilkan wayang kulit berdurasi 9 jam. Almarhum sering tampil dan mengajar di Perancis (1982), Singapura (1982), Inggris dan Spanyol (1984), serta Kanada dan Amerika (1986). Pada tahun 1990 dia mengajar di Universitas Simon Fraser di Vancouver, tempat ia menyusun karya pertamanya dengan teks bahasa Inggris.
Dalam banyak hal, Subono mewarisi darah mertuanya, seniman besar S, Ngaliman yang semasa hidupnya juga super kreatif dalam menciptakan berbagai tari dan gending serta laris mengajar di belahan dunia.
Kreatif
Karya Subono mencakup lagu-lagu populer dengan iringan gamelan serta musik eksperimental, yaitu ansambel ruang yang hanya terdiri dari instrumen bernada sangat tinggi (griting rasa), berbagai macam gong kenop (swara pencon), dan beberapa potongan yang belum direalisasi untuk paduan suara yang sangat besar.
Mas Bono juga menggarap teater bayangan modern ( wayang Sandoso) dengan karyanya yang spektakuler seperti Kama Tandhing (1982); Dewa Ruci (1983); Ciptaning (1984). LAGU: Pungjir (1974); Kidang Kencana (1980); Surakarta Lejer Budaya (1982); Berseri Tunggal (1985); Gotong Royong(1985); Bingung (1986); Air Minum (1987); Palinglih (1987); Sukaharja Papanku (1987); Urip Prasaja(1987); juga naskah teater boneka yang berkarakter hewan saja (wayang kancil) dan sinetron tari (wayang orang) .
Beberapa karya eksperimental antara lain Swara Pencon I (1983) dan II (1986); Menggertak Rasa(1989). untuk tari : Komposisi Hitam Putih (1980); Rudrah (1981); Bisma Gugur (1982); Ronggolawe Gugur (1982); Kusumo Asih (1983); Anila Prahastho (1985); Bhagawatgita (1985); Gathut-kaca Burisrawa (1985); Jemparingan (1985); Anoman Kataksini (1986); Rahwana Gandrung (1987)
Penghargaan
Publikasinya mengenai musik pengiring wayang kulit gaya baru yang intensif disebut pakeliran padatantara lain Iringan Pakeliran Dewasa Ini (1981), Kuliah Letihan Tabu Iringan Pakeliran Padat di ASKI Surakarta (1984), dan Evaluasi Garap Iringan Pakeliran Padat (1987).
Mas Bono pernah memperoleh penghargaan Satya Lencana dan Anugerah Seni dari Mendikbud. Sebagai komposer beberapa karya fenomenal antara lain Kalabendu, Matah Ati, Drupadi, Savitri Padnecwara, Bhagawatgita, Kunti, Gamelan Liturgi, Dalang Goyang Ghendeng gendhung,, Karno Tanding dan Bismo Gugur.
Keluarga
Blacius Subono, kelahiran Klaten 3 Februari 1954, menikah dengan Endang Sarawati Dwi Lestari, putri seniman besar Surakarta, S,Ngaliman dan dianugerahi 2 putra-putri, Beny Nugroho dan Nawang Kusumaningrum, serta memperoleh 4 cucu; Nindyi Aryo Hastungkoro, Radyan Krisna Yuwanendra, Haniditio Panji Basworo dan Pradana Dendy Prakoso
Mas Bono, seperti sosok Semar yang diperankan di saat terakhir, menunjukkan jati diri dan pribadinya yang santun, ramah, dan bijak. Berdekatan dengan Mas Bono dalam kesempatan apapun, seperti berada dalam dunia yang penuh damai dan bahagia.
Jenazah rencana akan dimakamkan siang ini di Kampus ISI Surakarta. Blacius Subono merpakan pengajar di sana sekaligus dijuluki empu di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta, sehingga, menurut Rektor ISI, I Nyoman Sukerna, seniman Blacius Subono layak disemayamkan di kampus sebagai penghargaan sekaligus penyemangat seniman-seniman lain.
Seniman Subono telah tiada, namun karya-karyanya akan senantiasa menyertai kehidupan manusia selama-lamanya.
Selamat jalan Mas Bono
Semoa istirahat dengan damai dan bahagia.
Berkah Gusti dalem
Mas Soegeng
Seni Hasil Kecerdasan Buatan VS Karya Seniman
Berakhir, 60 Tahun Perjalanan Seni Peran Nani Wijaya
Peran Seniman Membangun Kemanusiaan – Menulis Kehidupan 348
Gara Gara Jokowi : Waspadai Campur Tangan AS di Pemilu 2024 Bag. 3