HANYA BENDA

HANYA BENDA

Sehabis mengambil air suci di mata air Lourdes dan berjalan kembali ke penginapan, aku merasa tas yang kusilangkan di bahu lebih ringan dari biasa. Ketika kulihat, ternyata  ritsletingnya terbuka, dan waktu kurogoh bagian dalamnya, aku tak menemukan dompetku! Padahal baru saja aku menukarkan bekalku sebesar USD 200 ke dalam Euro! Mengetahui itu tenggorokanku terkunci, dan aku tidak bisa bicara. Padahal aku harus menelepon beberapa bank di tanah air untuk memblokir rekening dan kartu kreditku.

Melihat aku mendadak bisu, seorang teman memberi botol air mineral yang baru diisinya dengan air suci. Setelah meminum beberapa teguk, walaupun masih gugup, aku bisa menelepon anakku yang sedang tidur lelap di rumahnya di Jakarta, dan dia memberi petunjuk apa saja yang harus kulakukan. Semua langkah-langkah pemblokiran harus kulakukan sendiri, tidak bisa diwakilinya. Untunglah resepsionis hotel membolehkanku memakai telepon hotel tanpa membayar.

Malam itu aku hampir tidak bisa tidur. Aku bolak-balik ke kamar mandi sampai belasan kali. Sebenarnya aku masih punya sisa USD, terselip di bagian lain tasku, tapi tetap saja aku gelisah.

Besoknya aku merasakan betapa tidak enaknya bepergian tanpa uang yang “laku”. Aku terpaksa mengintili kakakku ketika bus mampir di rest area yang ada toko kecilnya, supaya ia bisa membayari belanjaanku dulu, ketika aku membeli benda ecek-ecek seperti stiker lucu buat cucu.

Tujuan berikutnya adalah Loyola. Di situ ada jeda antara satu acara ke acara berikutnya. Kastil yang dulu rumah masa kecil Santo Ignasius Loyola ditutup sementara para karyawannya beristirahat siang alias siesta. Memang begitu gaya hidup Spanyol. Rombongan ziarah pun berpencar di kebun luas kastil tersebut. Sebagian besar masuk ke kios cenderamata dan membuat bingung penjualnya, karena jumlah kami besar dan masing-masing ingin membeli ini-itu.

Setelah membeli sepotong cenderamata dengan uang pinjaman, aku kehilangan minat. Aku pun menyeberang dan duduk si anak tangga kastil.

Masih saja aku risau, sekalipun kartu-kartu bank sudah berhasil kublokir. Terbayang dompetku yang aku suka banget, yang bagian-bagian dalamnya sudah kuhafal apa saja peruntukannya. Teringat lenyapnya KTP yang mengharuskan aku melapor ke polisi, RT, RW, agar bisa kuperoleh gantinya di Kelurahan.

Terbayang uangku, beberapa ratus Euro yang bisa kubelikan tas kulit yang cantik nanti di Barcelona. Terbayang dua kartu kreditku, yang akan memberiku keleluasaan berbelanja. Tanpa itu aku harus puasa belanja.

Kastil tempat aku duduk adalah bagian dari sejarah. Di depan dan kananku berdiri pepohonan yang besar dan rindang. Di kiriku alam yang indah, luas tak terbatas, pemandangan bumi Spanyol yang dulunya tidak pernah kuimpikan bakal kusaksikan.

Angin sepoi berhembus. Mendadak aku seperti diingatkan: Alangkah kerdilnya diriku, bila sebuah dompet berisi uang dan kartu bank, yang kesemuanya hanya benda, membuat aku nelangsa. So what kalau tanpa kartu kredit, aku tidak leluasa belanja? Bukankah itu malah bagus, membuatku tidak boros menuruti keinginan? So what kalau aku harus berhemat selama sisa perjalanan ini, mencukupkan uang yang ada? Bukankah makan-minum-hotel-transportasi termasuk dalam biaya yang sudah lunas?

Bukankah keberuntungan bisa ikut ziarah, terlebih lagi perlindungan dari kemungkinan sakit dan kecelakaan, sudah kuperoleh secara gratis dari Tuhan yang sungguh amat baik? Pelan-pelan kegelisahanku reda. Ya, ya, seperti sudah sering disarankan oleh pastor pembimbingku, aku harus bisa melepaskan kemelekatanku pada benda.

“Hei, melamun!” Tahu-tahu salah seorang teman mencolekku.

Pintu masuk kastil sudah dibuka. Kami pun masuk dan bertekun dalam Misa. Dalam doa kuselipkan terima kasihku atas pelajaran berharga yang telah kuperoleh justru melalui suatu “kemalangan”. Bahwa, semua yang hilang itu hanya benda. Aku tidak kehilangan imanku. (BG)

“Uang belum dapat membuat seseorang bahagia, dan takkan pernah bisa. . Semakin banyak uang yang dimiliki, semakin besar kebutuhannya. Uang bukan menutupi suatu kekosongan, melainkan menciptakannya.” – Benyamin Franklin

Avatar photo

About Belinda Gunawan

Editor & Penulis Dwibahasa. Karya terbaru : buku anak dwibahasa Sahabat Selamanya.