Oleh RAHAYU SANTOSA
Belum lengkap rasanya kalau singgah di Kota Madiun tidak menyicipi pecel Madiun. Meski pecel Madiun diapit oleh pecel-pecel daerah lain, seperti Pecel Ponorogo, Pecel Magetan, Pecel Nganjuk dan Blitar, namun nama pecel Madiun tetap masih tak tergoyahkan.
Di Kota Madiun, sentra pecel ada di Jalan Cokroaminoto Madiun. Mulai dari perempatan lampu merah Jalan Sawo ke selatan, sampai Jalan Musi dipenuhi penjual nasi pecel. Dari pagi, siang, malam sampai pagi lagi. Ada saja yang buka. Sehingga tak bakal kesulitan untuk mencari nasi pecel di situ. Dari yang kelas depot, warung sampai PKL tenda pun ada.
Di situ ada pecel yang cukup terkenal, yakni Pecel Pojok. Letaknya di pojokan antara Jalan Cokroaminoto dan Jalan Ringin. Selain itu juga ada pecel Bu Wir Kabul, Pecel Tanjung, pecel 99 dan lainnya. Pecel 99 merupakan langganan mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhojono.
Tak hanya Jalan Cokroaminoto, pecel sudah merambah sampai jalan-jalan kecil di Kota Madiun. Harganya pun bervariasi, mulai dari Rp 5.000 sebungkus dengan lauk rempeyek dan tempe.
Sejak Zaman Kemerdekaan
Di Jalan Cokroamintono, sebenarnya sudah ada penjual nasi pecel sejak awal kemerdekaan. Mbah Wir namanya. Keluarga saya termasuk pelanggannya. Karena rumah keluarga saya di Jalan Sawo, hingga sangat dekat. Awal 1960 atau akhir 1950-an, saya sering diajak beli nasi pecel di situ. Karena saat itu dialah satu-satunya penjual nasi pecel di kawasan tersebut .
Generasi pertamanya saya panggil Mbah Wir. Menempati longkangan di antara dua rumah orang Cina. Tepatnya di utara Kelenteng Hwee Ing Kiong. Mbah Wir menggunakan 2 rinjing atau bakul besar dari anyaman bambu. Satu untuk ubarampe sayuran dan sambal, satu lagi khusus tempat nasi. Memang itulah ciri khas penjual pecel zaman dulu.
Tahun 70-an, Mbah Wir digantikan oleh anaknya, yang bernama Mbak War. Tempat jualan pindah di sebelah utara perempatan Jalan Sawo. Namun berikutnya, sampai sekarang, keturunan ketiga berjualan di Jalan Citandui, sebelah barat lampu merah. Tetap juga nempel di tembok orang Cina. Hanya bedanya, sekarang sudah diberi tenda. Jualannya tetap pagi hari. Jadi bisa dikatakan, cikal bakal pecel Jalan Cokroaminoto adalah Mbah Wir.
Pecel Selo
Selain Mbah Wir sebagai pelopor penjual pecel di Jalan Cokroaminoto, yang kemungkinan besar merupakan cikal bakal pecel Madiun adalah pecel Selo. Dinamakan Pecel Selo, karena penjualnya dari daerah Selo, Kanigoro.
Menurut Pak Yoeke Sukaryono, mantan anggota Tentara Genie Pelajar (TGP) ia sudah tahu pecel Selo sejak sebelum zaman kemerdekaan ‘’Sejak dulu ya begitu, penjualnya keliling kampung,” katanya.
Pecel Selo punya ciri khas yang sangat kuat. Penjualnya mider (keliling kampung) dengan menggendong bakul besar. Di tangannya ada ceret air untuk menyampur sambal.. Sambalnya juga punya ciri khas tersendiri. Kasar karena masih ada butiran-butiran kacang. Sebab untuk membuat sambal, masih menggunakan lumpang kayu. Penumbuknya berupa kayu panjang bulat sepanjang 1 meteran. Sehingga benar-benar berasa kacangnya. Kacang itu pun disangrai (digoreng tanpa minyak) dengan wajan dari tanah liat.
Pincuk atau bungkusnya menggunakan daun ploso. Daun berbentuk hati yang setiap tangka berisi 3 daun. Sayang sekarang Pohon Ploso sudah sulit ditemui. Bahkan dimungkinkan sudah mulai punah.
Ciri khas lain, penjualnya pakai kain panjang sepertiga (sampai bawah lutut saja) dan melebar di bawah, agar bisa berjaan dengan langkah lebar. Selain itu, menggunakan kebaya ‘’kutungan’’ berlengan tiga perempat sampai bawah siku.
Di tahun 70-an saya masih sering melihat lewat depan rumah di Jalan Sawo. Kami juga sering membelinya. Namun setelah itu menghilang. Saya baru menemuinya sekitar tahun 1975 – 1980-an di tempat parkir motor Terminal lama. Selain itu juga di depan stasiun di warung kopi Pak Tuk, dengan menampilkan ciri khas pecel Selo. Juga di trotoar depan rumah sakit umum Sudono.
Saya yakin, bila ciri khas pecel selo ini diabadikan lewat sentra kuliner, akan menjadi daya tarik tersendiri bagi Kota Madiun. Tidak seperti sekarang, hanya diabadikan lewat patung di tengah jalan.
Dengan mengangkat ikon Madiun secara nyata, setidaknya bisa sedikit meredam bulian warga netizen yang selalu criwis, bahwa Wali Kota Madiun, H. Maidi, bisa membangun tapi tak punya kreativitas. Hanya nyontek ikon daerah lain, seperti Jogya dengan Malioboronya. Yang lebih parah lagi nyontek Patung Merlion, ikon Singapura. *