Indonesia Telah Melewati Puncak Prestasi Sebuah Bangsa? (1)

Sang Maestro

Oleh HERMAN WIJAYA

“KITA harus melihat lagi ke belakang, jangan ke depan melulu. Dulu kita memiliki orang-orang hebat di bidang musik, di bidang film. Tetapi makin ke sini makin menyek-menyek (asal-asalan). Di masa lalulah kita telah mencapai puncak prestasi sebagai sebuah bangsa. Benar enggak sih?” 

Kalimat itu meluncur deras dari mulut Harry de Fretes, komedian modern, artis film dan sinetron yang juga bergerak di dunia bisnis, ketika saya menemuinya di sebuah hotel di Kawasan Parung, Bogor, awal September 2021 lalu.

Harry tidak memberi penekanan khusus pada kalimat yang disampaikannya. Ia berbicara dalam konteks bisnisnya, di mana ia akan menampilkan musik-musik lama, film-film lama karya sineas-sineas Indonesia masa lalu seperti Teguh Karya, Syumanjaya dan lain-lain.

Namun ucapan komedian yang mencuat namanya melalui tayangan komedi situasi “Lenong Rumpi” di RCTI tahun 1991 itu, membuat saya cukup lama merenungkannya. Jangan-jangan apa yang diucapkannya benar. Kebetulan hari ini, Senin (6 /9/ 2021), sahabat saya dalam akun facebooknya Cocomeo Cacamarica membuat sebuah status yang berbunyi begini: Menurut Mbah Coco, industry music di Indonesia, tinggal kenangan. Sudah masuk musium, atau hanya didengar di kafe, radio dan tivi. Piye jal?

Antara pendapat Harry “Boim” de Fretes dengan status di FB Cocomeo Cacamarica seperti memiliki nafas yang sama. Ada vonis, tapi juga keresahan terhadap prestasi bangsa Indonesia di bidang musik. Sejak teknologi internet menguasai dunia, seniman-seniman musik Indonesia seperti terseret arus deras teknologi yang tidak bisa dilawannya.

Padahal dulu, seniman justru menunggangi teknologi untuk melahirkan karya yang hebat. Lihatlah, bagaimana pertunjukan musik di panggung atau dunia rekaman mampu membawa penonton ke dalam situasi yang sangat emosional. Padahal di situ, peran teknologi sangat besar. Misalnya bagaimana petikkan melodi jadi melengking dan menyayat karena pengaruh efek listrik atau bunyi drum yang menggedor jantung.

Tahun 90-an hingga tahun 2000 merupakan puncak pencapaian prestasi musik Indonesia, dengan eksisnya grup-grup musik seperti Dewa-19, Slank, Padi, Peterpan, Gigi, Riff, Boomerang, Jamrud, Kla Project dan lain-lain. Sementara penyanyi single ada Yuni Shara, Rossa, Krisdayanti, Agnes Monica, Glenn Fredly, Judika dll.

Sampai sekarang pun sebagaian besar mereka masih ada, masih aktif di dunia musik, tetapi tidak seproduktif dulu.

Puncak prestasi dunia musik sesungguhnya bukanlah di jaman mereka, melainkan satu atau dua dekade sebelumnya, yakni pada tahun 70-an hingga 80-an. Ketika itulah dunia musik di Indonesia sangat riuh dengan kemunculan penyanyi dan grup-grup musik di berbagai wilayah di Indonesia. Beberapa di antaranya sangat produktif dan mengusai dunia musik Indonesia, hingga mereka dianggap sebagai legenda musik Indonesia.

Sebut saja yang paling produktif grup musik Koes Plus. Grup musik yang lahir tahun 1968 dari 4 orang bersaudara Koeswoyo: Tony, Nomo, Yon dan Yok, kemudian Nomo digantikan oleh Murry (pemain drum), merupakan grup paling produktif pada masanya. Dalam sebulan Koes Ploes bisa menghasilkan 2 album rekaman.

Panbers dan Koes Plus. Legenda musik pop, perintis band bersaudara yang menjadi tonggak musik Tanah Sir . Bukan hanya kreatif melainkan juga sangat produktif dalam berkarya. – foto.dok

Tidak lama setelah Koes Plus, lahir grup-grup musik Favourites Group, The Mercy’s, The Lloyd, Panbers, AKA, Rhapsodia, The Rollies, belum lagi beberapa music rock yang lahir di Surabaya atau Malang, Jawa Timur. Belum lagi beberapa grup musik dangdut seperti Soneta, bahkan ada grup musik wanita seperti Ken Dedes, penyanyi solo dangdut seperti Elvie Sukaesih, Rita Sugiarto hingga masuk ke era Evi Tamala dan Iis Dahlia; juga banyak penyanyi pop solo baik lelaki maupun perempuan seperti Broery Pesolima, Vivi Sumanti, Grace Simon.

Kemudian masuk era penyanyi rekaman yang manis-manis seperti Dian Piesesha, Ria Angelina, Chintami Atmanagara.

Karena begitu ketatnya persaingan, masing-masing grup musik maupun penyanyi, menampilkan warna musik atau vocal berbeda. Kawasan Glodok di Jakarta Barat dikenal sebagai pusatnya industri musik.

Di bidang film, Indonesia pernah memiliki sineas-sineas hebat seperti Syumanjaya, Teguh Karya, Arifin C. Noer, Asrul Sani, Putu Wijaya, kemudian disusul oleh generasi yang lebih muda seperti Garin Nugroho, Ucik Supra, ada pemain sekelas Christine Hakim, Slamet Rahardjo, Deddy Mizwar, Yenni Rahman, Roy Marten dan banyak lagi.

Di bidang sastra, puisi dan teater kita memiliki begitu banyak sosok yang memiliki kemampuan mumpuni dalam bidangnya. Siapa yang meragukan WS Rendra? Lalu ada Putu Wijaya (dramawan dan penulis), Nano Riantiarno (pemain teater, Sutardjo Calzoum Bahcri (penyair), Umar Kayam, YB Mangunwijaya, Pramoedya Ananta Toer (sastrawan), Emha Ainun Najib, Ashadi Siregar, Eddy D Iskandar, Marga T, Nina Pane, NH. Dini, dan lain-lain. (Bersambung)

Avatar photo

About Herman Wijaya

Wartawan, Penulis, Fotografer, Videografer