Oleh SETIO BOEDI*
UPACARA memperingati hari kemerdekaan baru saja selesai.
Para keluarga warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wanita ini sudah mulai banyak berdatangan untuk mengunjungi anggota keluarganya yang ada di sini. Yang dikunjungi ada yang statusnya sudah narapidana (artinya telah menerima putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap) ataupun mereka yang masih merupakan tahanan titipan, masih dalam proses persidangan di pengadilan.
Kebanyakan para pengunjung membawa makanan.
Entah itu buah, makanan kecil ataupun makanan besar lengkap. Seperti nasi opor ayam, nasi ayam goreng dan sayur asem. Ada juga yang membawa nasi pecel dengan berbagai lauk pauknya. Itu kulihat saat di meja pemeriksaan tadi.
Aku yang sudah sering mengunjungi Bunda sudah hafal tradisi berkunjung di LP ini.
Menjelang waktu berkunjung tiba, yakni jam 09.00 WIB, secara teratur kami antre di depan pintu masuk utama. Pintu besi itu tingginya lebih dari tiga meter, dan biasanya hanya dibuka secukupnya untuk satu orang bisa lewat.
Ketika suara keras terdengar dari pengunci pintu yang ditarik dari dalam, dan pintu terbuka, maka dengan rapi kami masuk satu persatu.
Dilakukan pemeriksaan tubuh pengunjung, diperiksa barang bawaan, mengisi daftar pengunjung, meninggalkan kartu identitas, juga menitipkan handphone di sana. Dan terakhir, tangan kami distempel sebagai tanda pengunjung. Kemudian kami dipersilakan masuk.
Masih ada satu pintu penjagaan lagi.
Di pintu ini petugasnya hanya melihat stempel di tangan kami, dan menengok sebentar barang bawaan. Lalu kami diperbolehkan melanjutkan langkah.
Demikianlah rangkaian acara rutin yang kuikuti selama bertahun-tahun mengunjungi Bunda di sini. Sejak aku masih kelas VI SD (yang sejak peristiwa itu aku tinggal bersama kakek nenek) sampai sekarang di usia 25 tahun. Sudah lulus dan kerja.
Bunda menjalani hukuman seumur hidup karena terbukti membunuh Ayah.
Aku sudah lelah menanyakan kenapa Bunda membunuh Ayah.
Aku sudah capek bertanya kenapa Bunda jatuh cinta kepada pria lain, padahal masih terikat pernikahan dengan Ayah yang sangat baik, sehingga tega melakukan perbuatan jahat itu.
Air mata ratapanku pun sudah habis di masa aku remaja.
Di satu bangku, di sudut ruang pertemuan pengunjung dan warga binaan di LP Wanita ini aku duduk.
Menanti kedatangan Bunda.
Kulihat beberapa pengunjung yang sudah berjumpa dengan yang dikunjungi.
Ada anak-anak yang minta digendong ibunya.
Ada warga binaan yang nangis sesenggukan di pelukan ibu yang mengunjunginya.
Ramai di ruangan ini.
Ada juga perempuan yang dikunjungi suaminya atau entah pacarnya.
Mereka berpelukan, saling cium melepas rindu.
Sebagian ada yang sudah mulai membuka tempat makan yang mereka bawa, dan makan bersama.
Di saat aku bengong itulah, pundakku ditepuk Bunda.
“He Gadisku….!”
“Iya Bunda…” kupaksakan tertawa riang di depan Bunda. Dan aku diciuminya. “Ini yang Bunda pengin hahaha…!”
Kubuka tempat masakan Padang, pesanan Bunda dua minggu lalu.
“Aduh…. Terima kasih Gadis!”
Dia memelukku lagi.
Bunda tampak senang sekali melihat nasi, gule ayam, daun singkong dan rendang di sana.
“Eh, gimana khabarmu? Gimana khabar pacaranmu dengan siapa itu?
Ah Bunda kok lupa namanya, Dewa ya?”
“Iya Bunda!”
“Gimana khabar kalian?”
“Kami baik Bunda!” jawabku berbohong.
Aku paksakan tersenyum.
Aku nggak mau cerita ke Bunda, kalau semalam kekasihku, Dewa, yang dengan berat hati menyampaikan bahwa dia tak bisa melanjutkan pacaran denganku.
Alasannya, keluarganya tak bisa menerima ketika tahu aku adalah anak seorang perempuan yang membunuh suaminya sendiri.
Aku terpaksa berbohong kepada Bunda saat ini.
Karena kalau kuceritakan sekarang Bunda pasti sangat sedih.
Belakangan dia telah sadar bahwa yang ikut menanggung perbuatannya bukan hanya Bunda. Tetapi anak semata wayangnya ini pula.
Sulit mencari jodoh adalah salah satu deritaku saat ini, sebelumnya? Terlalu banyak untuk diceritakan betapa sengsaranya mempunyai seorang Ibu yang dipenjara karena membunuh suaminya.
Apakah Anda pernah membayangkan? Ayah di makam, Bunda di penjara.
Makanya aku sangat prihatin, ketika membaca berita bahwa yang dilakukan Bunda ternyata ada yang mengikutinya.
Aku membayangkan beratnya jalan hidup anaknya.
*Setio Boedi, penikmat budaya . Tinggal di Semarang
Cerita di atas adalah imajiner. Nama-nama fiktif.