KETIKA MILITER DAN POLISI TAK BERDAYA

Ketika virus pandemi Corinavirus-19 melanda, praktis semua kekuatan bersenjata baik militer maupun polisi tak berdaya. Mereka menghadapi musuh yang tak nampak namun sangat mematikan. Musuh langsung merangsek ke tengah rakyat dan warga negara yang harusnya mereka lindungi. Tapi benteng pertahanan sudah jebol dan korban berjatuhan. Dan mereka seperti tak tahu harus berbuat apa. Perang biologi itu sungguh nyata. Bukan dongeng lagi.

Di negeri kita, sudah 1,98 juta warga yang terserang musuh (virus) dan 54.291 meninggal dunia! 1,79 juta diselamatkan, tapi Rp. 1.350 triliun duit negara terkuras. Banyak usaha tutup, mall, bioskop tutup berbulan bulan dan orang orang kehilangan pekerjaan. Ekonomi morat marit.

Sungguh ini perang yang nyata. Akan tetapi tentara maupun polisi sebagai penjaga negara tidak berdaya !

Tentara akhirnya digunakan untuk bala bantuan pendukung, melindungi paramedis yang bertugas di garis depan yang berjuang memerangi musuh. Tenaga dokter dan perawat lah yang berada di medan perang kini – di mana sebagian dari mereka juga telah bertumbangan, ikut jadi korbannya.

Keadaan serupa terjadi di seluruh dunia khususnya di 200-an negara yang terdampak sebaran virus di planet bumi ini.

Kerusakan pada pandemi virus Corona 19 bukan fisik. Bangunan bangunan utuh. Kendaraan, kapal laut, pesawat, masih bisa lalu lalang. Kerusakan terjadi pada hilangnya puluhan ribu nyawa – jutaan dalam skala global – paranoid dan perilaku dan tata kehidupan yang berubah. Ekonomi di banyak negara hancur. Minimal krisis.

HANYA kaum kadal gurun saja yang tak mempercayai ini – karena siang malam mereka cuma berpikir bagaimana menyalahkan presiden dan pemerintah – agar bisa menurunkan jabatannya dan mengusirnya dari istana agar pimpinan mereka yang menggantikannya.

Semakin gagal pemerintah kita menangani pandemi, semakin senang mereka. Dan terlampiaskan kekecewaan atas kekalahan Pilpres 2019 lalu – sekaligus terpuaskan fantasi mereka bahwa pandemi ini semata mata karena salah pilih presiden, karena negara mendzalimi ulama mereka dan aneka kesimpulan dungu lainnya. Dan terus berkhayal bahwa kutukan corona hanya terjadi di zaman Jokowi saja. Karena Jokowi presidennya

Maka, ancaman negara Indonesia saat ini tak cuma itu yaitu virus Corona yang tak nampak itu. Ada virus dan musuh lain yang juga tak nampak yang mengancam negara kita ini: intoleransi dan radikalisme.

Alih alih memerangi virus radikalisme yang makin marak, negara malah menyiapkan Rp.1.750 triliun untuk belanja alutista – yang entah untuk memerangi negara mana – NKRI dalam bayang bayang perpecahan yang bisa diatasi tanpa mengerahkan panser, kapal selam dan jet tempur. Namun mereka cuek.

Boleh jadi mereka yang seharusnya melindungi NKRI sedang sibuk menghitung duit komisi dari transaksi itu.

SEPERTI virus Corona, bibit virus Intoleransi tidak kasat nyata tapi dampaknya sangat nyata. Pihak pihak yang ingin membenturkan negara dan agama semakin berani tampil. Dan negara seakan menganggap NKRI baik baik saja. Padahal Indonesia sedang di ambang konflik dan di-Suriah-kan.

Baik karena virus Corona maupun virus intolerasi dan radikalisme – sesungguhnya NKRI sedang tidak baik baik saja.

Lagi lagi dalam hal ini militer dan polisi bakal tidak berdaya. Karena virus intoleransi dan radikalisme juga merasuk ke markas tentara, polisi dan ASN, selain ke kepala daerah, BUMN, BUMD, wakil rakyat. Kampus, pesantren juga sekolah sekolah.

Kalau menghadapi KKB di Papua dan teroris Poso saja TNI dan Polri sudah nampak repot – bagaimana menghadapi pembrontakan merata atas nama agama? Sungguh menyeramkan!

Namun dibanding mengadapi virus yang didanai ber-triliun rupiah – ancaman kadrun dengan paham intoleransi dan radikalismenya diatasi secara ala kadarnya. Akibatnya orang orang seperti Denny Siregar, Ade Armando dan Eko Kuntadhi, Abu Janda, menjadi sangsak.

Sementara ormas ormas pemuda yang mengatas namakan Pancasila dan merah putih – yang seharusnya merasa terpanggil karena negara NKRI terancam – masih asyik menongkrongi lahan sangketa dan rebutan area parkir.

Lambang Pancasila dan Merah Putih cuma dipakai untuk seragam memalak dan minta jatah keamanan, jatah lebaran, natal dan hari besar lainnya.

Tragis! ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.