Seide.id – Ada empat penganut aliran agama yang jumlahnya hampir seimbang di Lebanon, yakni Kristen Katolik / Maronit, Muslim Sunni, Kristen Ortodoks dan Muslim Syi’ah.
Karena keanekaragamannya yang sektarian, Lebanon menganut sebuah sistem politik khusus, yang dikenal sebagai konfesionalisme, yang dimaksudkan untuk membagi-bagi kekuasaan semerata mungkin di antara aliran-aliran agama yang berbeda-beda.
Presiden Lebanon, haruslah seorang Kristen Katolik Maronit, Perdana. Menteri seorang Muslim Sunni, Wakil Perdana Menteri seorang Kristen Ortodoks, dan Ketua Parlemen seorang Muslim Syi’ah. Pembagian ini merupakan hasil dari persetujuan tidak tertulis tahun 1943 antara Presiden (Maronit) dan Perdana Menteri waktu itu (Sunni) dan baru diformalkan dengan konstitusi pada tahun 1990.
Namun karena perbedaan penganut agama dan aliran agama itu pulalah yang membuat Lebanon terbelit perang saudara berkepanjangan. Terlebih lagi masing-masing kelompok memiliki pasukan militer sendiri, ditambah keterlibatan negara lain, maka kisruh di Lebanon semakin kusut.
Perang Saudara Lebanon dimulai dari 1975 hingga 1990. Diperkirakan sekitar 150 ribu hingga 230 ribu warga sipil tewas akibat peperangan tersebut. Sekitar satu juta jiwa lain, sekitar seperempat populasi negara tersebut, terluka dan 350 ribu penduduk mengungsi.
Insiden ini diduga terjadi ketika seorang warga Lebanon dan kelompok orang Palestina (PLO) di Ain ar-Rummanah, Beirut bentrok pada bulan April 1975. Ini adalah titik awal yang kemudian menjadi pemicu perang saudara ke seluruh wilayah Lebanon.
Perang tersebut melibatkan kelompok-kelompok yang bersaingan, dan didukung oleh sejumlah negara tetangga. Orang-orang Kristen Maronit, yang dipimpin oleh partai Phalangis dan milisi, mula-mula bersekutu dengan Suriah, dan kemudian dengan Israel, yang mendukung mereka dengan senjata dan latihan untuk memerangi fraksi PLO (Organisasi Pembebasan Palestina).
PLO kemudian menggunakan Lebanon selatan sebagai pangkalan untuk penyerangan-penyerangan ke Israel. Sebagai balasan Israel mengebomi posisi-posisi di Lebanon selatan. Upaya-upaya pembunuhan atas Duta besar Israel, Shlomo Argov di London pada 3 Juni 1982,
menjadi sebuah alasan peperangan (meskipun pada akhirnya ternyata ini dilakukan oleh sebuah kelompok yang memusuhi PLO, Abu Nidal) dan mengubah saling permusuhan ini menjadi perang besar-besaran.
Ketika itu tiga pria, Hussein Ghassan Said, Marwan al-Banna, dan Nawaf al-Rosan mendekati Argov saat dia masuk ke mobilnya setelah jamuan makan di Hotel Dorchester , di Park Lane , London.
Berbekal senapan mesin WZ63 , Hussein Ghassan Said menembak kepala Argov. Argov tidak terbunuh, tetapi dia terluka parah. Dia dilarikan ke Rumah Sakit Nasional untuk Neurologi dan Bedah Saraf , di mana dia dipindahkan ke unit spesialis dan menjalani operasi otak darurat. Dia mengalami koma selama tiga bulan.
Pada 6 Juni 1982, Israel menyerang Lebanon dengan 60.000 pasukan dalam suatu tindakan yang dikutuk oleh Dewan Keamanan PBB. Dua bulan kemudian, di bawah suatu kesepakatan gencatan senjata yang disponsori AS yang ditandatangani pada akhir Agustus, PLO setuju untuk menyerahkan Lebanon kepada pengawasan internasional, dan Israel setuju untuk tidak menyerang lebih jauh ke Beirut, dan menjamin keamanan warga sipil Palestina yang tertinggal di kamp-kamp pengungsi.
Pada tahun 1982 itulah, bulan September, terjadi kemanusiaan yang dikenal dengan nama Pembantaian Sabra dan Shatila. Sabra dan Shatila adalah kamp-kamp pengungsi Palestina di Beirut, yang saat itu diduduki oleh Israel. Pembantaian ini dilakukan oleh para milisi Kristen Maronit Lebanon atas para pengungsi.
Sepanjang peristiwa ini, kamp-kamp ini dikepung oleh tentara-tentara Israel, dan para milisi itu dikirim oleh Israel untuk mencari anggota-anggota PLO. Sebanyak 328 orang tewas saat itu.
Perang Lebanon 2006 menimbulkan korban sipil dan militer, kerusakan hebat pada infrastruktur sipil, dan pengungsian besar-besaran dari 12 Juli 2006 hingga gencatan senjata diberlakukan pada 14 Agustus 2006. Pada September 2006, pemerintah Lebanon telah memberlakukan rencana pemulihan awal yang ditujukan untuk membangun kembali properti yang dihancurkan oleh serangan-serangan Israel di Beirut, Tirus, dan desa-desa lainnya di Lebanon selatan.
Pada tahun 1989 semua wakil kekuatan politik, partai dan sekte keagamaan sepakat mengadakan rekonsiliasi nasiaonal yang di kenal dengan “Taif Agreement” di bawah sponsor Saudi Arabia dan Suriah.
The Taif Agreement ( Perjanjian Taif) adalah kesepakatan yang dicapai untuk memberikan “dasar untuk mengakhiri perang sipil dan kembali ke normal politik di Lebanon “. Perjanjian itu dinegosiasikan di Ta’if , Arab Saudi , dirancang untuk mengakhiri Perang Saudara Lebanon selama beberapa dekade.
Isi perjanjian menegaskan, Lebanon di Lebanon Selatan kembali kepada otoritas pemerintah Lebanon, menetapkan pasukan Suriah mundur dalam waktu dua tahun, penarikan yang sebenarnya tidak terjadi sampai tahun 2005. Perjanjian Itu ditandatangani pada 22 Oktober 1989 dan diratifikasi oleh parlemen Lebanon pada 5 November 1989
Dengan Taif Agreement perang saudara berakhir. Kehidupan berpolitik dan bernegara diatur dengan formulasi baru berdasarkan konstitusi yang mengalami perubahan yang disepakati dalam rekonsiliasi nasional. (Bersambung)