Diam dan tidak banyak omong!
Itulah hari-hariku belakangan ini. Aku malas sekali bicara dengan siapapun. Aku senang melewati hari-hariku dalam diam.
Aku juga tidak peduli omongan orang, khususnya teman-teman yang merasa heran dan penasaran dengan sikap diamku.
Aku malas ngobrol. Karena perubahan sikapku itu membuat banyak teman bilang, aku sekarang seriusan, sok wibawa. Ada pula yang bilang, aku berubah drastis gara-gara kesambet.
Aku kesambet? Bisa jadi. Karena aku kesambet pengin mantu. Aku tengah menimbang-nimbang gadis pilihan yang cocok untuk jadi mantu idaman.
Ada dari mereka yang anak relasi bisnis, teman sekolah, atau anak teman komunitas.
Aku lalu ingat kembali pada relasi bisnisku yang tempo hari datang ke rumah dengan 2 anak gadisnya. Lalu disusul ajakan makan keluarga bersama. Cocokkah anakku dengan salah satu di antara mereka?
Dari isu karyawan relasi bisnisku, gadis sulungnya itu sudah punya pacar, adiknya yang masih jomblo. Tapi sayang si bungsu itu tidak masuk dalam kriteriaku. Manja dan kekanak-kanakan. Berbeda dengan kakaknya yang tampak dewasa dan sabar.
Begitu pula dengan teman semasa kecilku atau komunitas. Ngobrol bersama orangtua lalu memberi kesempatan sebanyak mungkin pada anak-anak, berharap mereka cocok dan berjodoh, lalu menuju ke pelaminan.
“Be, sebenarnya itu yang mau menikah Babe sendiri atau anak,” omel istriku suatu hari.
“Ya, anaklah. Babe itu sudah produk afkiran,” candaku sambil ngakak.
“Ya, biarkan anak nyari sendiri yang cocok di hati. Kalau yang nyariin Babe, itu suloyo. Zamannya beda dan udah berubah….”
“Lha, anak now itu matanya tidak seawas dan sejeli kita. Pengalaman, Nyak…,” sanggahku.
“Oh ya?!”
“Lha, iya. Kita kenal baik dengan orangtuanya. Bukannya buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Kecuali buahnya dibawa codot,” kataku mulai jengkel.
Seharusnya istri itu mendukung baik suaminya. Nyatanya istriku, tidak. Alasannya, anak lelaki itu banyak mau. Dan belum tentu anak gadis itu juga oke. Lalu…?
Padahal, jujur, untuk memilih calon mantu idaman itu orientasiku pada bobot bibit bebet agar anakku tidak salah pilih.
Kenyataannya, anakku menentang keinginanku itu. Alasannya, zaman telah berubah. Bla bla bla.
“Yang njalani itu aku, Be. Nyong tahu itu,” katanya lalu nggeloyor pergi.
Sikap anak yang cuwek dan tidak peduli, membuatku jadi syok, karena merasa tidak dihargai.
Ditentang oleh istri dan anak, aku merasa sendiri dan dijauhi. Aku jadi malas mengurus usaha. Dan lebih senang tinggal di rumah. Merenung, dan merenung sepanjang hari.
Pagi itu, ketika aku sendirian di ruang tamu, pintu rumahku diketuk. Tamu. Tapi sebelum aku beranjak untuk membukanya, anak lelakiku membuka pintu itu lebih dulu.
Kulihat beberapa lelaki berpakaian putih berbincang dengan anakku. Lalu mereka menghampiriku.
“Mari Pak,” kata seorang tamu ramah sambil membimbingku ke luar.
Aku bengong, tapi menuruti ajakan itu.
“Kita mau ke mana …?” tanyaku heran sambil memandang mereka satu persatu.
Mereka tersenyum. Aku seperti disihir untuk menurut, dan diam.
Mobil itu membawaku memasuki halaman sebuah gedung yang besar. Plang di atas kubaca… RS Jiwa.
Foto : Istock