HANDRAWAN NADESUL
Medical Doctor, Health Motivator, Health Book Writer and a Poet
Kliping Tulisan di Kompas 2008
Bukan rahasia umum kalau pasien kita lebih memilih berobat ke luar negeri. Rumah sakit di Singapura akan sepi pengunjung kalau pasien Indonesia beralih kembali berobat di negerinya sendiri. Sekurang-kurangnya 400 ribu pasien internasional menyerbu Singapura setiap tahun. Sekarang banyak pasien kita mulai melirik Malaysia juga. Taruhlah pasien Indonesia seperempatnya saja dari jumlah itu, berapa devisa bisa kita hemat kalau pasien bangsa sendiri bisa kita rangkul. Di mana sesungguhnya letak problematiknya?
WAKTU ditanya wartawan ihwal banyaknya pasien kita berobat ke luar negeri, Dirjen Bina Yanmed Depkes dua tahun lampau, menjawab begini. Orang kita lebih memilih berobat ke luar lantaran kurangnya sarana medik, rendahnya tingkat kepercayaan pasien, dan minimnya perhatian dokter.
Boleh jadi memang benar begitu. Tanpa maksud merendahkan tampilan dan kinerja umumnya layanan medis kita, banyak fakta berbicara seperti itu. Harus diakui, tentu ada yang memberi nilai ekstra pada layanan medik luar negeri kalau orang lebih suka memilih ke sana, sementara layanan medik kita masyarakat rasakan kurang.
Melihat sarana medik yang kita miliki sekarang mestinya tidak kalah dengan rumah sakit internasional di mana pun. Di kita pun rumah sakit sekarang juga sudah serba ada, dan apa kurangnya. Lalu kalau orang tidak tertarik berobat di rumah sakit sendiri padahal peralatan mediknya sudah serba lengkap, di mana salahnya?
Boleh jadi lebih karena faktor kepercayaan, selain belum terjaganya sikap profesional medik sebahagian dokter kita. Dan ini sudah harus menjadi pertanyaan besar manakala globalisasi layanan medik sudah di depan mata, dan pasar bebas industri medik kian besar membocorkan devisa kita. Kalau betul itu bukan semata persepsi keliru publik, namun layanan medik kita yang kurang memuaskan memang sebuah realita, saatnya kita perlu berbenah.
Layanan medik kalangan berempunya
Sistem kesehatan yang kita anut memiliki dua jalur layanan medis, yakni layanan ”jalur lambat” dan layanan ”jalur cepat”. Layanan ”jalur lambat” diberikan bagi lebih banyak rakyat yang tak bisa memilih alamat berobat. Mereka kelompok masyarakat yang belum tentu selalu bisa berobat setiap kali sakit, dan menerima saja apa pun layanan medik dan kesehatan yang diterimanya lewat puskesmas, dan rumah sakit pemerintah.
Lebih delapan puluh persen rakyat kita menempuh layanan medik ”jalur lambat”. Suka tidak suka, mereka menelan saja layanan medik dan kesehatan betapa pun tidak memuaskannya. Suara kritik, keluhan yang pasien rasakan tidak memadai, nyaris hampir tak terdengar datang dari pihak mereka. Media massa saja yang biasanya mengangkat kasus asuransi orang miskin, kasus malpraktik, kasus tak ada dokter di puskesmas, dan masalah yang acap masyarakat bawah alami.
Berbeda halnya dengan kelompok masyarakat perkotaan. Mereka ini yang tergolong bisa memilih ke mana alamat berobatnya. Tentu tidak memilih jalur puskesmas, melainkan ada pilihan ke dokter praktik sore, dan ke rumah sakit swasta. Sesuai dengan tarifnya, layanan yang mereka terima lebih berkelas dibanding layanan puskesmas dan rumah sakit pemerintah.
Oleh karena rata-rata masyarakat yang menempuh layanan ”jalur cepat” ini lebih terdidik, suara keras terhadap kurang memuaskannya layanan medik dan kesehatan lebih sering terdengar ke permukaan. Mereka pula yang membangun opini publik ihwal buruknya layanan medis.
Persepsi layanan medik yang muncul ke permukaan umumnya diwakili oleh kelompok masyarakat yang mampu bebas memilih ke mana pun alamat berobatnya. Maka suara mereka yang kerap terdengar, termasuk diangkat oleh media massa, opini publik ihwal persepsi buruknya layanan medik datang dari sini.
Tentu saja opini publik belum tentu sebangun dengan opini medik. Artinya, penilaian masyarakat terhadap kualitas layanan medik belum tentu di pihak yang selalu dapat dibenarkan seturut kacamata medik. Demikian pula halnya, bahwa pihak layanan medik, yakni dokter, perawat, bidan, dan rumah sakit, bisa saja sebagai pihak yang keliru.
Tidak saling bertemunya opini publik ihwal layanan medik dengan opini medik, bisa dimengerti lantaran memang selalu ada kesenjangan kompetensi (competency gap) antara pasien dengan dokter.
Pihak pasien tidak sepenuhnya menguasai apa yang dokter pikir dan putuskan ihwal penyakitnya. Tanpa terjalin komunikasi dokter-pasien, dan ini sebetulnya menjadi tugas dokter, selalu berisiko melahirkan syak, atau salah sangka di antara dokter dengan pasien sehubungan transaksi mediknya. Kondisi seperti itu yang berisiko menumbuhkan persepsi tak elok pasien, yang belum tentu benar, terhadap suatu layanan dokter dan rumah sakit yang mereka alami.
Harus diakui sejatinya tidak semua layanan medik kita pasti buruk. Masih banyak dokter kita yang profesional. Tidak juga semua layanan rumah sakit kita substandar. Cukup banyak rumah sakit yang profesional dan tidak mendepersonalisasikan pasien. Namun kalau semakin tumbuh persepsi salah masyarakat terhadap layanan medik kita, kemungkinan penyebabnya barangkali seperti berikut ini.
Dokter kita mirip superman
Sistem kesehatan kita yang menjadikan dokter kita bekerja mirip superman. Rata-rata dokter diangkat pegawai negeri sipil (PNS), begitu umumnya lulusan dokter kita. Pagi hari bekerja sebagai dokter puskesmas, atau dokter rumah sakit pemerintah. Mereka memberi layanan medik ”jalur lambat” yang tak punya pilihan alamat berobat.
Di sini bobot kerja dokter kelewat berat karena yang harus dilayani melebihi tingkat ideal kinerja profesionalnya. Bagaimana bisa melayani secara profesional kalau jumlah pasien puskesmas sampai ratusan seharinya, misalnya. Kealpaan profesi bisa terjadi akibat bobot kerja dokter sangat berlebih.
Setelah praktik pagi mengabdi pemerintah, petang harinya dokter kita perlu buka ”warung” karena mengandalkan gaji pemerintah saja tak cukup. Oleh karena layanan praktik pribadi atau rumah sakit sore hari melayani masyarakat pasien ”jalur cepat” yang mampu membayar lebih, masuk akal kalau dokter mendahulukan praktik pribadinya.
Itu sebab boleh jadi layanan medik pagi hari sering telantar. Keluhan puskesmas tak ada dokter, layanan dokter setengah hati, padahal masyarakat ”jalur lambat” justru lebih membutuhkan sentuhan medis, dan buat pemerintah puskesmas adalah ujung tombak penyehat masyarakat.
Namun seperti sudah disebut, suara keras ihwal buruknya layanan medik umumnya tidak datang dari masyarakat bawah, melainkan dari pasien kota, baik karena sikap mengkritisinya maupun sebab merasa sudah membayar lebih, maka menuntut hak menerima layanan terbaik. Pihak dokter sendiri yang sudah letih pagi hari, dan harus menyetel otaknya untuk dua kelompok masyarakat dengan layanan yang berbeda dalam hal fasilitas medis, perhatian, kesungguhan. Layanan medik di waktu pagi dengan waktu petang, dokter tidak selalu bisa tampil sama-sama primanya.
Persepsi keliru pasien
Jadi kalau ada layanan medik yang pasien (kota) rasakan kurang berkenan lalu masuk koran dan berita televisi belum tentu sejatinya seperti itu kenyataannya di mata medik. Tidak serta merta ketidakpuasan medik yang pasien alami selama berobat pasti lantaran kesalahan layanan pihak medik. Tidak pula semua yang merugikan pihak pasien pasti tergolong kasus malpraktik, dan niscaya sebab kesalahan ada pada pihak dokter atau rumah sakit.
Harus diakui pula bukannya tidak mungkin kesalahan ada pada pihak dokter atau rumah sakit. Sekali lagi itu lebih sering karena kesenjangan kompetensi dokter-pasien, sehingga masyarakat maupun pasien boleh jadi keliru menafsirkan, lalu membangun persepsi seolah betul layanan medik yang diterimanyalah yang tidak profesional, kurang berkenan, atau dinilai buruk.
Bahwa ada layanan medik yang buruk, siapa bisa memungkiri. Bahwa ada juga dokter yang nakal, siapa bisa menyangkal. Akan tetapi memukul rata bahwa layanan medik kita jelek semua, perlu kita diskusikan ulang.
Kalau pun sampai ada juga layanan medik yang tidak profesional, penyebabnya bisa dua. Seperti sudah disebut, atau bobot kerja dokter yang melebihi kapasitasnya sebagai seorang manusia (overloading). Bahwa dokter juga manusia. Kemampuan fisiknya terbatas. Ia bisa letih. Jiwanya juga bisa sedang galau. Pikirannya bisa sedang kacau. Kelebihan bobot kerja barang tentu mengurangi kinerja profesionalisme. Menerima pasien melebihi kemampuannya, misalnya.
Dokter praktik di Indonesia nyaris tanpa batas pasien yang diperiksanya. Maaf kalau harus menyebutnya seperti ”kutu loncat”. Dokter harus berpindah-pindah dari ruang praktik atau rumah sakit yang satu ke tempat praktik lain setiap harinya. Sekali praktik memeriksa berpuluh-puluh pasien, bahkan bisa lebih seratus pasien setiap harinya.
Masuk akal kalau dokter bisa alpa. Cerita seorang profesor di rumah sakit sampai luput mendiagnosis, barang tentu bukan karena kedunguannya, melainkan karena bobot kerja profesinya sudah kelewat berlebih.
Sejatinya kurikulum pendidikan kedokteran di mana-mana dunia lebih kurang sama. Kemampuan otak bangsa kita juga rata-rata normal. Jadi kalau sampai terjadi salah diagnosis, salah operasi, tak tepat memberi terapi, tak senonoh memeriksa pasien, umumnya memang lebih karena dokter kelebihan bobot kerja. Konsil kedokteran barangkali perlu mempertimbangkan pembatasan jumlah pasien seperti di negara-negara lain. Demi kepentingan pasien dan profeionalisme dokter, perlu ada board yang melegalkan berapa jumlah pasien yang laik diperiksa dokter setiap hari.
Kedua, bahwa ada dokter yang misdiagnosis karena ketidakmampuannya, itu kasus yang sama di belahan dunia mana pun. Bahwa juga ada dokter yang nakal dan oknum, sama dengan profesi apa pun. Dari segelintir ini mungkin lahir kasus-kasus malpraktik, selain misconduct seperti kasus dokter tidak sopan, kurang ramah, kurang mau ditanya, sesuatu yang sesungguhnya tidak patut terjadi kalau etika profesi setiap dokter pegang teguh.
Bisnis moral dan posisi pasien kita
Profesi dokter itu bagian dari bisnis moral. Sementara kinerja dan tampilan dokter dipengaruhi juga oleh siapa pasiennya. Harus diakui kondisi rata-rata pasien kita yang di strata bawah masih sempit wawasan medisnya, alih-alih tahu apa yang dokter kerjakan pada dirinya. Belum pula semua pasien kota yang terdidik sekali pun bagus wawasan medisnya, sehingga bisa jadi muncul sikap syak, atau salah sangka terhadap apa yang dokter lakukan dan putuskan terhadap dirinya ketika berobat. Kesalahan terjadi, lantaran lebih karena komunikasi dokter dengan pasien tidak jalan.
Otoritas dokter harus dikontrol. Kekuasaan medik dokter kelewat besar. Sekali lagi, kebanyakan dokter kita semakin tipis sikap profesionalismenya lebih karena bobot kerja yang berlebih.
Rata-rata tak cukup menyediakan waktu untuk selalu berperilaku profesional terhadap setiap pasien sebagaimana diajarkan waktu sekolah. Bukan tak tahu ada aturan profesi itu kalau ternyata kebanyakan dokter kita, tidak semua, dan tidak pula selalu melakukan yang seharusnya diminta sikap profesionalismenya.
Ambil contoh keluhan pasien ini. Sudah diperiksa di sini dengan MRI paling canggih (64-slices), penyakitnya luput terdiagnosis. Selang berapa hari diagnosisnya tertangkap di Singapura. Bukti bahwa kesalahan bukan pada sarananya, tapi kasus misdiagnosis. Pasien lain membawa hasil pencitraan paru-paru dari sini yang dinyatakan ada kanker paru. Selang sepekan di Belanda sudah dikonfirmasikan dengan pemeriksaan lanjutan tidak menemukan apa-apa di paru-paru. Bukti bahwa ini kasus overdiagnosis.
Faktor dokter nampaknya menjadi akar dari munculnya kedua kasus di atas. Belum tentu sebab dokternya tidak kompetensi. Mungkin karena kesalahan membaca hasil, atau tak profesional mengoperasikan alat, kalau bukan karena alatnya sudah kedaluwarsa. Jadi sejatinya lebih sering lantaran unsur kelalaian, dan keteledoran, sehingga pasien dirugikan.
Kasus perdarahan pascabedah, atau terjadinya komplikasi sebuah tindakan medik, keterlambatan penanganan medik, keliru memberi obat dan munculnya alergi obat yang sebetulnya sudah bisa diramalkan, kasus Stevens-Johnson yang sering diributkan koran sebagai malpraktik, tidak harus muncul jika sebelumnya dokter tidak malas berbicara kepada pasien.
Kita belum memiliki ”paspor kesehatan” yang mengisi seluruh riwayat pasien sejak lahir. Kehadiran ”dokter keluarga” yang mengobati anggota keluarga secara bertahap dan pasien diobservasi setiap hari, di kita belum mentradisi.
Itu maka dokter kita, yang bukan ”dokter keluarga” hampir selalu asing terhadap pasiennya. Dokter yang tidak mengenal siapa pasiennya berisiko memunculkan kejadian medik yang tak diharapkan. Apalagi kalau waktu periksa sangat singkat karena masih banyak pasien menunggu. Reaksi alergi tak terduga, respons obat tak cocok, efek samping abnormal, atau muncul kedaruratan medik, sering terjadi justru karena pasien tak dikenal dokter sebelumnya.
Reformasi profesi dokter kita
Profesi dokter sejatinya menyandang tiga muatan. Kompetensi, sikap profesionalisme, dan hati nurani. Namun ketiganya tidak selalu terpenuhi jika muncul hal-hal yang merongrong.
Rongrongan profesi medik bisa datang dari ketiadaan dukungan sarana medik, beban kerja dokter berlebihan (overloading), selain masih rendahnya pranata kesehatan masyarakat yang dilayani. Rata-rata layanan medik kita masih dirongrong oleh ketiga-tiganya. Belum akibat sistem kesehatan yang kita anut pasien harus bayar dulu baru dilayani (paid for services), dan rendahnya penghargaan pemerintah buat profesi dokter.
Dokter pintar, cekatan, terampil saja tak cukup kalau tidak rajin menjawab ketika pasien bertanya. Praktik dokter juga bisa alpa kalau pasiennya berjubel layaknya penonton bioskop. Aneka keluhan pasien kita berpotensi muncul kalau dokter praktik sampai subuh, misalnya.
Praktik tanpa batas waktu berisiko bikin suram citra dokter. Kondisi kelebihan bobot kerja itu yang membawa dokter sebertangan dingin apa pun berisiko salah diagnosis, muncul tindakan malpraktik, keteledoran, tak profesional, atau kurang etis. Padahal dokter bukan malaikat.
Profesi dokter menuntut belajar sepanjang hayat. Obat yang dulu aman sekarang kedapatan berbahaya. Kalau dokter tidak mengikuti perkembangan medik mutakhir, pasien menanggung getahnya. Kalau sebuah tindakan medik konvensional masih buruk buntutnya, dan dokter tak membaca ada temuan yang lebih baru, kenapa pasien tak meragu. Kondisi begini juga menjadi alasan lain pasien berduit kapok dilayani dokter lokal. Jadi bukan lantaran dokter kita dianggap lebih dungu.
Yang seperti di atas tak terjadi di Singapura, atau negara mana pun yang mapan profesionalisme mediknya. Profesionalisme dokter mewajibkan komunikasi dokter-pasien dibangun. Dokter patut telaten menjawab setiap pertanyaan pasien. Sebelum operasi, dokter menemui pasien menceritakan apa yang akan ia lakukan selama operasi, apa yang bakal pasien alami, seperti apa risiko dan konsekuensi operasinya.
Untuk itu dokter memang dibayar pantas. Dan tingkat bayaran pantas ini ditoleransi oleh pasien berduit kita yang mencari kepuasan berobat namun tengah kehilangan kepercayaan pada produk layanan medik di negeri sendiri.
Faktor kepercayaan memegang peran besar dalam hubungan transaksi dokter-pasien. Kalau suara sumbang ihwal kualitas layanan medik dalam negeri terus bermunculan, semakin tumbuh kesangsian masyarakat untuk memilih berobat di negeri sendiri.
Mulut pasien yang tak puas dengan layanan medik di negeri sendiri lebih berbisa dari iklan televisi. Memang belum tentu yang diungkap pasien seluruhnya benar gara-gara kealpaan atau kedunguan dokter, kelalaian rumah sakit, atau buruknya perawatan. Namun lantaran tak terjalin komunikasi dokter-pasien yang mestinya dokter bangun, maka syak wasangka pasien terhadap jeleknya dokter kita sering berujung menjadi pembenaran yang memihak opini publik, dan bukan opini medik.
Apalagi setelah pasien mengalami sendiri layanan di negeri orang lebih elok dari rumah sendiri. Maka supaya kocek devisa negera tidak terus bocor oleh semakin banyak pasien berobat ke luar, diperlukan sebuah upaya.
Tak cukup menegakkan ikrar dan tekad dokter bisa dan mau profesional belaka. Kita juga memerlukan reformasi struktur kerja profesi, sekaligus struktur gaji tenaga medik yang selayaknya juga dibuat lebih profesional. Tujuannya, supaya dokter kita tidak harus menjadi kutu loncat, atau terpaksa melupakan etika profesinya dalam berpraktik. Karena kalau saja kondisi para profesional medik kita diciptakan seperti yang diterima para sejawat di negara yang sudah elok layanan mediknya, dokter kita bukannya tidak sama berpotensinya. ***