Oleh RAMADHAN SYUKUR
KARENA gue lebih banyak tinggal di Kemang Ujung Bogor, kalo mau wisata kulineran gue memilih ke Jalan Suryakencana. Di sini gue bukan cuma suka sama makanannya, tapi juga suasana parkirannya. Gak ada tukang parkir liar yang suka minta tarif seenaknya. Sistem perparkirannya sudah modern sejak 2018. Menggunakan mesin pakir meter seperti sistem perpakiran DKI jaman Gubernur Ahok.
Penggunaan teknologi parkir meter itu diterapkan di Kota Bogor, selain agar terlihat lebih tertata juga sebagai upaya pemerintah untuk meminimalisir kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari retribusi parkir.
Itu intinya. Begitu juga di DKI yang nilai rupiahnya dari parkir gede banget. Sayangnya, begitu Ahok berhasil dikalahkan, sistem perparkiran di DKI yang pernah tertata rapi itu dihapus. Parkir liar merajalela lagi.
Seiring waktu berjalan, Asisten Sekda Bidang Kesejahteraan Rakyat, Catur Laswanto, tahun lalu mengungkapkan bahwa pendapatan Pemprov DKI Jakarta mengalami penurunan dari Rp87,95 triliun ke Rp47 triliun.
Ini sih bukan turun lagi, tapi terjun bebas. Kenapa? Gue kagak tahu. Yang gue tahu dari berita, nilai anggaran belanja pemda lucunya malah lebih besar dibanding pendapatan yakni Rp51 triliun. Bah. Ini mah kagak lucu ya. Defisit.
Mungkin karena defisit anggaran ditambah makin ambyar dihajar pandemi, maka dicarilah jalan untuk meningkatkan pendapatan.
Twing! Dapat ide.
Ternyata cara paling asyik ngumpulin duit dengan cepat yaitu balik lagi lewat parkir.
Balik bikin meteran parkir lagi kayak jaman Ahok dulu? Ya enggaklah. Itu hasilnya sedikit. Kali ini ada cara paling dahsyat yang hasilnya ribuan kali lipat.
Dengan dalih Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 66 Tahun 2019 tentang pengendalian kualitas udara, Dinas Perhubungan lalu didorong untuk melakukan revisi tarif parkir. Caranya?
Naikan tarif parkir. Berapa? Jangan tanggung-tanggung. Gedein sekalian. Untuk Golongan A bagi mobil rencananya Rp 5.000 – Rp 60.000/jam dan Golongan B Rp 5.000 – Rp 40.000/jam. Untuk motor golongan A diusulkan Rp 2.000 – Rp 18.000/jam dan Golongan B Rp 2.000 – Rp 12.000/jam.
Dahsyat, kan. Modyar kalo jadi. Gak bisa kulineran dan ngemol lagi di Jakarta. Parkirnya bakal lebih mahal dari makanannya.
Tapi kan masih bisa sih pakai ojol. Cuma mangsalahnya, apa kang ojol mau dan sanggup ngantri makanan lebih dari satu jam? Kayak ngantri BTS meal waktu itu. Bisa kelengerlah mereka.
Beruntunglah gue dah setahun lebih isoman di rumah kebun Kemang Ujung Bogor. Tarif parkir sejam kelak di Jakarta, bisa gue pake buat memanjakan perut dua jam parkir di SurKen Bogor buat makan bakso kikil Pak Jaka, lumpia basah Gang Aut, bir kocok Abah, dan sate cungkring Pak Jumat. Kenyang dan gak bikin emosi.
Nikmat mana lagi yang bisa kau dustakan.