PERJAMUAN TAK KUDUS

PERIH. Perih rasanya hati saya melihat foto bangungan Graha Bhakti Budya, salah satu bangunan pertunjukan di kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM) yang mulai dirobohkan. Sampai saya tidak berani mendekat ke TIM. Saya tidak tega. 

Sejak kuliah dan belajar meliput,30 tahun lebih jadi wartawan, hingga kini purna-aktif dan jadi pengajar ilmu jurnalistik, tak terhitung berapa banyak peristiwa budaya, pertunjukan tari, pementasan teater, musik, orasi kebudayaan yang saya saksikan di gedung dan komplek kesenian itu. Segala seni dari seluruh Indonesia, bahkan dunia. TIM bukan hanya milik DKI Jakarta, tapi sudah jadi milik dan barometer seni di Indonesia.

Tak terhitung berapa banyak aksi dan suara yang dilantangkan untuk menolak pembongkaran dan pengubahan kawasan TIM menjadi kawasan komersil. Dari diskusi, dialog dengan pihak Pemda DKI, aksi diam, audiensi dengan DPRD DKI. Tokoh-tokoh seni dan budaya yang suaranya layak didengar seperti budayawan Radhar Panca Dahana, Putu Wijaya, Yudhistira Massardi, Nano Riantiarno, dan banyak seniman lain sudah bicara. Tapi semua dianggap angin. Betapa bebal dan menyedihkan.

Warga Jakarta, warga Indonesia, perlu memiliki arena, ruang publik untuk mengekspresikan dan menikmati seni. Ruang publik yang ramah. Yang bisa diakses, mungkin sambil  minum kopi, atau makan gado-gado. Bukan gedung komersil  dan hotel berbintang, yang pakai security dan plang pintu. Gedung seperti itu itu sudah amat banyak di Jakarta, juga di kawasan Cikini. 

Alasannya, supaya ada dana untuk mensubsidi kesenian. Alasan dangkal. Berapa besar sih dana untuk mensubsidi kesenian? Kalau APBD DKI yang mendekati Rp 100 triliun itu dianggap tidak cukup mensubsidi kesenian, ya tidak usah subsidi. Tapi tidak perlu menghapus dan menggadaikan TIM puluhan tahun.

Apa artinya ini. Kenapa Pemda DKI begitu ngotot sampai tidak tahu malu? Ya, sudah sudah terlanjur kontrak dengan perhitungan-perhitungan komersil. Ini perjamuan tidak kudus. Membangun dan menjual TIM menjadi bangunan komersil dengan waktu 28 tahun, tentu amat mahal. Gubernur DKI, Pimpinan JakPro tidak perduli kerugian atau apa yang akan terjadi nanti. Mereka tidak menjabat lagi saat itu, bahkan mungkin sudah mati. 

Saya memperkirakan Gubernur DKI dibelit banyak janji politik dan komersil, seperti dia harus membawa 70-an orang dari Tim Sukses-nya menjagi TGUPP ke DKI. Kalau dari kemampuan dan dukungan politik murni, memang dia tidak layak terpilih. Pemilihan Gubernur DKI yang dia menangkan adalah pemilihan yang memalukan, karena menggunakan cara-cara politik tak beradab.

Karena itulah, saya kecewa juga kepada tokoh-tokoh bangsa ini, yang diam saja dan membiarkan TIM dijual. Kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Kepada Menko Kesra, bahkan kepada Presiden RI Joko Widodo. Bangsa ini seperti tidak mengerti arti penting dan makna prasana dan infrastruktur kebudayaan.

Infrastruktur fisik, jalan tol, pelabuhan, lapangan terbang itu perlu. Tapi infrastruktur seni dan budaya itu tak kalah penting. Kita perlu belajar seni, belajar budaya, agar jadi orang beradab. Agar lahir orang-orang yang membangun infrastruktur dan memegang pimpinan politik yang berbudaya. Yang tidak bermental maling dan korup. 

Bangunan Hotel IBIS di sebelah TIM dulu adalah kolam renang punya DKI. Dulu, setiap hari, kolam itu ramai dengan rombongan anak-anak sekolah sekitar Menteng yang dibawa gurunya belajar berenang. Sekarang sudah jadi hotel, apa fungsinya. Ya, tempat tidur dan bersanggama. Bisakah kita membedakan anak-anak sekolah yang belajar berenang sambil bersorak-sorai, dengan orang tidur atau bersanggama dalam kamar? Seperti itulah beda nilai komersil dengan nilai budaya…

Avatar photo

About Nestor Rico Tambun

Jurnalis, Penulis, LSM Edukasi Dasar. Karya : Remaja Remaja, Remaja Mandiri, Si Doel Anak Sekolahan, Longa Tinggal di Toba