Oleh DAHONO PRASETYO
BAHWA moment Hari Kemerdekaan 17 Agustus senantiasa menjadi retorika refleksi seberapa jauh kedewasaan bangsa ini berkembang pasca Proklamasi. 76 tahun sudah kita dipimpin pula oleh 7 orang Presiden dengan segala dinamika, kontroversi dan tarik ulurnya. Kemajemukan penghuni negeri inilah yang secara tidak langsung berperan aktif dalam pasang surut membangun negaranya.
Pemimpin yang terpilih adalah mereka yang bisa menyatukan kemajemukan itu menjadi suara mayoritas, karena itulah hakekat negara demokrasi. Dari Presiden pertama hingga ke 7 ini, bukan perkara mudah untuk secara hukum diakui sebagai orang nomer 1. Bukan hanya perkara dukungan terbanyak, atau kelihaian strategi politiknya. Namun pasti dan sah, ada campur tangan Tuhan di dalamnya.
Bagaimana seorang Soekarno berinisiatif membangun “rumah” bernama Indonesia, dari sebidang tanah, menggali pondasi, membuat ruang kamar,atap hingga memagari halaman dengan segala keterbatasan yang ada. Tuhan merestui niat baik seorang anak bangsa yang berkeinginan mandiri.
Dilanjutkan oleh Soeharto dengan segala strategi politiknya membuat hangat dan nyaman para penghuni rumah itu. Namun kenyamanan itu membosankan. Rakyat butuh variasi konsep berbangsa. Tumbal dan korbanpun berjatuhan seiring keinginan kuat mereformasi negeri.
Lalu muncul sosok penjembatan masa transisi itu bernama Habibie. Seorang berotak jenius yang bercita cita membangun rumah dan penghuninya dengan kaidah teknologi. Belum setengah cita cita tersampaikan, dia harus rela menyerahkan konsep kepemimpinannya kepada seorang alim ulama bernama Abdurrahman Wahid.
Beliau Gus Dur diizinkan Tuhan memimpin negeri ini demi menyatukan kembali serpihan bagian rumah yang nyaris runtuh akibat badai reformasi yang tiba tiba melanda. Skenario Tuhan kepada Gus Dur sebatas meredakan kegaduhan yang jika tak terkendali akan berujung perpecahan. Setelah masyarakat damai, rukun dan kondusif bisa berfikir positif, usai sudah tugas Gus Dur.
Tuhan yang sebelumnya tidak mengizinkan seorang wanita memimpin negeri ini meski di dukung mayoritas, kini berbaik hati menjadikan wanita sebagai kepala rumah tangga. Megawati membuka kran demokrasi dan emansipasi, kemerdekaan berpendapat dan mengemukakan gagasan dijamin undang undang. Hingga akhirnya berujung pada suksesi kepemimpinan sarat intrik yang menjadikan SBY sebagai penerus konsep pembangunan bangsa.
Berbekal Partai berumur jagung, namun mampu memutar balikkan fakta bahwa uang bisa membeli apa saja, jika itu dilakukan atas kesepakatan bersama. Sepuluh tahun Presiden SBY berkuasa tak disangka telah melahirkan zona korup secara berjamaah, terstruktur dan sistematis. Sebagian terungkap, sebagian lagi lihai menghindar. Tuhan-pun marah dan menghukum Indonesia berada dalam kondisi tanpa jati diri.
Dalam situasi tanpa solusi, munculah Jokowi dengan segala keluguannya mengajak rakyat untuk merevolusi mental dari segala cara pandang negatif menjadi optimis. Disinilah terasa campur tangan terasa Tuhan begitu besar.
Seorang Jokowi yang secara matematika dan logika politik tak sekelas Prabowo mampu memenangi perebutan kepemimpinan secara dramatis. Indonesia yang sarat dengan orang hebat, cerdik, pandai cukup dipimpin oleh seorang “tukang kayu” biasa yang ikhlas bekerja keras untuk apa saja. Tuhan memilihkan kita seorang pemimpin yang tak memiliki keistimewaan apapun selain rasa kecintaannya pada bangsa dan negerinya.
Maka jika ada fihak yang ingin menurunkan Jokowi sebelum habis masa kontraknya, dia butuh mu’jizat dan izin langsung dari Tuhan.
Apapun kondisi yang sedang kita rasakan sekarang ini adalah sekedar hukuman atas apa yang telah kita lakukan sebelumnya. Maka bersyukurlah, dibalik kekecewaan, caci maki, perseteruan, ketakutan dan marah, bendera kita masih sama. Lagu kitapun masih tak berubah : INDONESIA RAYA.
Depok 11/08/2021