Sang Presiden Penyair Indonesia, yang belum tergantikan ini, genap berusia 82 tahun dan sederet acara menyongsongnya di Taman Ismail Marzuki (TIM). Lewat puisi mantera, Bang Tardji banyak melakukan perubahan dalam membuat puisi.
Seide.id – Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri, berusia 82 tahun kemarin, Sabtu 24 Juni 2023. Sederet acara diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, sebagai syukuran atas sumbangannya yang besar di dunia sastra, mulai dari seminar, lomba baca puisi hingga pentas teater.
Puncak acaranya berlangsung Sabtu (semalam) di Teater Kecil, dimana Dinas Kebudayaan serta Dinas Perpustakaan dan Pengarsipan (Dispusip) DKI Jaya memberikan Anugrah Sastra 2023 serta pemotongan tumpeng untuknya.
Bang Tardji, juga mendapat hadiah sebuah lukisan karya Paul Hendro yang menggabarkan Sutardji ketika masih muda membaca puisi.
“Itu foto saya masih muda. Masih gagah. Sekarang mungkin sudah loyo. Tapi karya tidak boleh loyo!” tegas Bang Tardji, nama panggilan akrabnya.
Dari rangkaian acara menyambut 82 tahun Sutardji CXalzoum Bachri, digelar diskusi di Pusat Dokumentasi H.B Jasin (TIM), Selasa (20/6) bertajuk “Pemberontakan Mantra dan Religiusitas”.
“Tidak ada penyair yang menulis di kertas kosong. Penyair adalah buah hati tradisi, kalau menulis harus ada tradisi,” Sutardji memberikan penjelasan tentang puisi-puisinya yang disebut puisi mantra. Kertas tempat penyair menulis itu adalah tradisi, budaya yang mempengaruhi para penyair.
Sutardji mengakui bahwa puisi-puisi mantra yang dia buat pun dengan penuh kesadaran pada tradisi yang berkembang. “Saya sadar sekali, walaupun saya sering mabuk,” katanya.
Dalam acara itu, beberapa puisi karya Sutardji dibacakan oleh beberapa penyair dan group band. foto Wina Armada SA
Pada tahun 1971, kumpulan puisi pertamanya yang berjudul O dimuat dalam majalah sastra Horison. Lalu pada tahun 1972, kumpulan puisinya yang berjudul Amuk dimuat oleh majalah yang sama. Karya ini berhasil mendapatkan Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta pada 1976/1977.
Beberapa puisinya yang kemudian dikenal itu misalnya, O (1971), Amuk (1972) dan Kapak (1979).
Pada masa-masa inilah dia menggemakan “kredo puisinya” yang terus dikenal sampai sekarang. Dalam Kredo Puisi tersebut, ia berpendapat bahwa “kata-kata harus bebas dalam menentukan dirinya karena kata-kata itu sendiri adalah pengertian”.
Manifesto puisi ini berarti mengembalikan puisi pada awal mulanya yaitu mantra. Menulis puisi bagi Sutardji adalah mengembalikan pada mantera.
Pada musim panas tahun 1974, Sutardji mengikuti International Poetry Reading di Rotterdam, Belanda. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa, Amerika Serikat, sejak Oktober 1974 hingga April 1975.
Selain menulis sajak, SCB juga menulis cerita pendek. Salah satunya adalah kumpulan cerpen berjudul Hujan Menulis Ayam yang diterbitkan oleh Indonesia Tera pada tahun 2001.
Bang Tardji pernah bekerja sebagai redaktur di majalah Horison dan menjadi redaktur senior pada 1966. Selain itu, ia juga bekerja di majalah mingguan Fokus. Setelah berhenti menjadi redaktur di majalah Horison, ia menjadi redaktur rubrik budaya Bentara di harian Kompas dan menangani puisi pada tahun 2000 hingga 2002.
Pekerjaannya sebagai redaktur di Bentara memberinya kesempatan untuk membuat karya esai. Kumpulan esainya yang berjudul Gerak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 dan Hijau Kelon & Puisi 2002 merupakan dua esai yang menjadi pengantar dalam kumpulan puisi “Bentara”.
Menurut Maman S Mahayana, yang juga Ketua Yayasan Hari Puisi, lewat puisi mantra itulah Sutardji kemudian banyak melakukan perubahan dalam membuat puisi.
Sederet penghargaan diraih sastrawan berdarah Riau ini, di antaranya: Anugerah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (2006) di Bandar Seri Begawan, Brunei Daussalam, Anugerah Seni Akademi Jakarta (2007), Bintang Budaya Parama Dharma (2008) dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Bakrie Award (2008) ,Anugerah gelar “Datuk Seri Pujangga Utama” dari Lembaga Adat Melayu Riau (2018) – dms