Vaksin Belum Tentu Salah

Vaksin ( Foto By Brano)

HANDRAWAN NADESUL

Harus menghargai siapapun ilmuwan yang menciptakan vaksin Covid-19. Tujuannya mulia, untuk menyelamatkan umat manusia dari ancaman virus SARS-CoV-2. Oleh karena vaksin diciptakan dalam kondisi darurat, dan perlu cepat dimanfaatkan, maka dunia harus menerima keserba kekurangannya, bila ada. Bila kemudian terbukti ada.

Dalam hal vaksin dan obat Covid, semua masih serba baru. Riset dan studi Covid-19 belum seluruhnya mengungkap kebenaran ilmiah penyakit yang bikin pandemi ini. Maklum kalau ilmuwan dan kebijakan setiap negara masih meraba-raba, mencari solusi yang paling benar, dan paling bijak.

Silang pendapat yang muncul dari riset dan studi ihwal vaksin, juga obat Covid-19, wajar saja, kendati bisa sampai memengaruhi pengambil keputusan dunia, maupun masing-masing negara. Hal yang perlu masyarakat maklumi. Tahun lalu, bulan lalu, suatu temuan ilmiah diterima dunia, namun kemudian ditinggalkan dengan alasan ilmiah.

Belum pernah terjadi demikian deras dan melimpahnya hasil riset dan studi ihwal Covid-19 seperti terjadi sekarang ini. Ilmuwan lebih dari 200 negara baku melaporkan hasil temuannya. Dan kebenaran ilmiah yang paling bisa diterima akal sehat medik ini yang kemudian menjadi acuan WHO untuk diterima, dan semua negara mengacunya. Bukan tak mungkin, acuan berubah, bahkan berganti dalam hitungan bulan. Dulu di awal pandemi, WHO menetapkan masker tidak diperlukan bagi orang sehat, hanya bagi yang sudah sakit, belakangan dalam tempo singkat, berubah. Beberapa obat Covid-19 dulu disepakati, belakangan tidak lagi. Bukan tanpa alasan. Sekali lagi, pengalaman dunia ihwal Covid masih serba baru, patut diaklumi jika masih bisa keliru, atau salah. Juga ihwal vaksin.

Membingungkan Awam

Tidak melupakan kalau dari sekian banyak hasil riset dan studi Covid-19, ada saja pihak yang dibayar, karena statistik keilmiahan bisa saja diciptakan untuk mengiyakan suatu hasil riset demi kepentingan pemesan, dalam hal ini pihak farmasi. Laporan ini yang membingungkan kalangan awam, dan dipahami oleh yang nalar mediknya bekerja.

Hal lain, walau suatu vaksin sudah lolos semua uji yang wajib dilaluinya, bisa saja baru setelah dipakai pada masyarakat luas, muncul kelemahan, kekurangan, mungkin juga bahayanya. Laporan vaksin bikin efek buruk bermunculan (KIPI) dihimpun lalu dianalisis. Namun apabila kasusnya kecil saja, maka dinilai tidak signifikan dibanding jauh lebih banyak yang tanpa KIPI, maka tidak cukup kuat untuk mendakwa ini kesalahan vaksin. Hanya beberapa kasus dari sejuta vaksinasi, misalnya.

Namun di antara kebenaran ilmiah yang tidak terduga, yaitu efek buruk, kelemahan, kekurangan suatu vaksin, sejak awal lahir memang sudah tampak ada perbedaan itu di mata ilmiah, bahwa vaksin dan vaksin itu ada dua. Fakta ini bukan tanpa disadari oleh pencipta vaksin.

Dalam kondisi kedaruratan pandemi, itu maka alasan pemakaian vaksin sebagai kedaruratan oleh pihak otoritas, pertimbangan pencipta vaksin memilih platform yang lebih mudah dibuat, yang waktunya lebih cepat diproduksi, itu yang menjadi keputusannya. Itu maka hanya satu platform vaksin yang memilih terbuat dari virus utuh (inactivated), yang lainnya platform rekayasa genetik.

Efek Wajar

Untuk perbedaan platform vaksin inipun akan teruji oleh waktu, setelah semakin luas vaksin digunakan di dunia. Bahkan kita tahu obat apa pun, walau sudah lulus uji semua, baru setelah sekian lama, setelah puluhan tahun kemudian digunakan, terungkap efek buruknya, dan atau bahayanya. Dan ini wajar adanya.

Jadi kalau ada vaksin yang dilaporkan muncul KIPI, kejadian ikutan pasca imunisasi, selama dinilai tidak signifikan, belumlah perlu didakwa itu sebab kelemahan vaksin. Ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan. Maka KIPI dijadikan masukan, feedback untuk menilai, apakah benar signifikan kelemahan, kekurangan suatu vaksin, dan bukan sebab faktor lain. Faktor kebetulan, misalnya.

Kebetulan vaksin diberikan kepada orang yang rentan terhadap vaksin, atau orang yang sudah mengidap suatu penyakit, atau orang yang sedang dalam kondisi tertentu, sehingga akhirnya boleh disimpulkan bahwa yang salah bukan vaksinnya. Demikian juga apabila menyangkut soal bagaimana hasil suatu vaksinasi.

Sebut saja misal, berapa banyak kasus yang sudah divaksin tapi kena Covid-19 juga. Perlu dinilai apakah kasus begini betul bukannya karena terjadi infeksi Covid-19 sebelum antibodi cukup terbentuk dalam tubuh. Covid-19 terjadi pada penerima vaksin, pada hari sebelum antibodi lengkap terbentuk, misalnya. Atau kebetulan orang yang divaksin, kurang baik repons sistem kekebalan tubuhnya? Atau bukan tak mungkin kondisi vaksinnya sudah tidak poten lagi akibat distribusi atau faktor lain yang berpotensi merusak vaksin. Gagal produksi, dan itu terlacak dengan mengamati batch vaksin. Atau sebab cold-chain, rantai distribusi yang kurang mengindahkan protokol suhu vaksin agar masih tetap viable. Terlebih vaksin yang perlu suhu rendah sekali di bawah 70 derajat C, misalnya, tentu lebih rentan rusak dibanding vaksin yang bisa bertahan di suhu kamar.

Masuk Nalar Medik

Sekali lagi, dunia sudah sedemikian terbuka, dan jujur ihwal kebenaran ilmiah setiap platform vaksin. Dunia juga terus mengamati kelemahan vaksin dari reaksi setelah dipakai semakin meluas di masyarakat dunia. Laporan dari masing-masing negara dianalisis, dan bila terbukti signifikan betul sebab vaksinnya, masuk nalar medik untuk perlu ditarik, atau tidak diperkenan dipakai lagi.

Sekali lagi, vaksin dibuat dengan tujuan mulia, sebesar-besarnya demi keselamatan umat manusia. Tujuannya mulia. Namun kalau kemudian ada kebijakan di masing-masing negara yang serong, yang tidak tegak lurus di mata ilmiah, bahkan terhadap perlunya mengacu kepada WHO, serta FDA yang dipercaya tidak memihak, sebagai penimbang yang jujur, itu yang masih mungkin bisa terjadi. Misal, apabila ada kepentingan lain di luar kebenaran ilmiah suatu vaksin.

Semoga hal itu tidak perlu, dan tidak harus terjadi, semata agar yang menjadi kebijakan setiap negara tetap masih seiring sejalan dengan kebenaran ilmiah.

TULISAN HANDRAWAN NADESUL LAIN:

Jalan Kaki Tergopoh-gopoh Lebih 10 Manfaat Plus 1 Manfaat Berharga Tak Perlu Stent Jantung

Membaca Seseorang Setelah Ia Berbicara

KESEHATAN : Bonus Bangun Pagi

Avatar photo

About Handawan Nadesul

Medical Doctor, Health Motivator, Health Book Writer and a Poet