Menjadi bijak, andai orang mulai mengajarkan peran lelaki dan perempuan.
“Selamat ya, Bu. Hebat bisa punya dua anak lelaki!”
Ucapan spontan petugas POM bensin ketika saya berkendara dalam hamil besar, lalu mengisi bensin; cukup mengejutkan.
Tak terpikir saat itu bahwa saya hebat karena memiliki dua putra. Meski saya menyadari sepuluh tahun yang lalu, sebenarnya hingga saat ini sih; kebanggaan memiliki anak lelaki sebagai generasi penerus keturunan keluarga ayah masih kental di beberapa budaya.
Beruntungnya suami dan saya bersepakat untuk tidak membubuhkan nama belakang ayah pada nama belakang kami.
“Agar membentuk generasi baru, tentu dengan harapan besar, kehidupan yang jauh lebih baik “
*
Bertambah usia kedua putra saya, justru bertambah niat saya untuk menanamkan nilai-nilai kepada mereka untuk belajar dan berusaha menghargai perempuan.
Saya setuju pendapat seorang pengamat parenting dan perkawinan.
“Untuk mencari calon suami anak perempuanmu, lihatlah apakah dia menghormati dan menghargai ibunya. Bila tidak, tak usah heran kalau nanti dia tak akan menghargai istrinya.”
Dari perkataan itu, saya menganalisa, ibu juga yang bisa mengajarkan anak lelakinya untuk menghargai perempuan, baik hormat kepadanya, maupun kepada perempuan lain.
Apakah Ayah menjadi bebas tugas?
Tentu saja anak pun melihat bagaimana Ayah menghargai, respect, maupun mewujudkan cintanya kepada Ibu.
*
Mengajarkan tentang peran lelaki dan perempuan
Selain orang tua wajib menjadi role model tentang respect other gender, bagaimana perlakuan sehari-hari kepada anak-anak akan menunjukkan apakah kita bias atau tidak menunjukkannya.
Pernah dengar istilah “boys will be boys”? Pernyataan itu seolah memvalidasi tak apa-apa bila anak lelaki berlaku salah, bersikap kasar, atau melakukan kenakalan; karena mereka anak lelaki.
Belum lagi tentang istilah “boys don’t cry”. Seperti tabu bila anak lelaki menangis. Tak heran keluarga dengan pandangan seperti itu, akan menghasilkan lelaki yang ‘keras’, yang menekan segala emosi, untuk selalu tampak kuat.
Akhirnya, pribadi yang terbentuk memiliki kecenderungan untuk depresi lebih besar, dibanding dengan keluarga yang lebih membuka dialog bila anak lelaki mereka berhadapan dengan masalah.
Sebelum tahap mengobrol dengan anak tentang emansipasi, saya mengutip sedikit tips dari laman Parent Circle, tentang cara menumbuhkan sikap yang sehat untuk bersikap respect kepada sesama, terutama yang beda gender.
1. Mulailah dari diri orang tua sendiri
“Ayahmu sudah lelah bekerja seharian, jangan diganggu!” , pernyataan semacam itu membuka penafsiran keliru anak bahwa pekerjaan Ibu di rumah tangga yang seringkali terganggu oleh perilaku anak, BUKAN hal yang penting dan patut dihargai.
Seharusnya, baik Ayah maupun Ibu, ketika mereka bekerja, maupun beristirahat tidak semau-maunya boleh untuk diganggu anak-anak. Minimal anak paham bahwa mereka perlu belajar bernegosiasi dulu dengan orang tua untuk berkegiatan bersama. Caranya : obrolkan dan buat kesepakatan
2. Bersikap awas atas apa yang kita ucapkan
Ucapan kita bisa merupakan pujian yang ‘menjerumuskan’ atau umpan balik yang responsif.
Menghamburkan pujian cantik kepada anak perempuan kita, hanya akan mendorongnya melihat aspek fisik sebagai yang terpenting dalam hidup.
Demikian juga pujian pintar, berpeluang menjadi toksik. Entah anak menjadi sangat sombong dan percaya diri akan kepintarannya atau membuatnya enggan untuk bersikap rajin, maupun melihat kelebihan orang lain.
Termasuk komentar cengeng kepada anak, padahal ketika itu penting bagi anak untuk mengeluarkan emosinya dengan menangis; akan berakibat anak menekan segala yang menggangal dan bisa berakibat suatu saat akan meledak menjadi perilaku kurang baik.
3. Bersikap waspada terhadap pengaruh lingkungan dalam berbagai bentuk
Umumnya literasi anak dalam bentuk dongeng dan cerita, termasuk film; menanamkan doktrintentang perempuan yang akan diselamatkan pangeran, kisah-kisah superhero yang menggambarkan lelaki itu kuat secara fisik, suka menolong, bertengkar melawan musuh.
Jelas bahwa perempuan dideskripsikan sebagai pihak yang ditolong, malah belakangan beberapa cerita menggambarkannya sebagai musuh jahat dengan segala sifat buruk yang perlu dibasmi.
Tak hanya bacaan dan tontonan, bahkan mainan maupun warna-warna, doktrin tentang biru untuk lelaki, bola bukan mainan anak perempuan, pink hanya boleh untuk baju perempuan, plush toy tak cocok untuk anak lelaki; telah mengotak-ngotakkan hal yang rigid untuk anak pahami.
Kecermatan orang tua sangat diperlukan di sini, karena pilihan yang keliru akan menyulitkan dalam mengubah persepsi anak tentang karakter lelaki dan perempuan di usia mereka selanjutnya.
4. Makin bertambah besar, diskusi tentang pilihan cita-cita bebas gender
Bahkan sebelum bicara tentang cita-cita, pandangan orang dewasa tentang, ‘tak apa-apa bila perempuan tak bisa mencari uang sebanyak lelaki, nanti mereka menikah saja’ ; sangat perlu diwaspadai.
Makin maju peradaban, makin banyak profesi yang bebas gender. Koki tak hanya perempuan, pilot dan tentara tak hanya lelaki. Guru TK tak hanya perempuan, penari tak hanya lelaki.
Doronglah dan fasilitasi anak, baik lelaki maupun perempuan untuk terus mengeksplorasi minat, kesukaan dan mengembangkan bakatnya.
Minat, kesukaan dan bakat sesungguhnya tak mengenal gender.
Seperti kata bungsu saya, “siapapun, lelaki dan perempuan, asalkan mereka good at di bidang itu, mereka boleh dan bebas mengembangkan diri. Kuncinya di kata mereka bisa / mampu atau tidak?”
Sebagai penutup, mungkin kutipan dari Michael P. Watson, ‘Strong people don’t put others down; they lift them up’; bisa dijadikan bahan obrolan awal dengan anak-anak tentang peran lelaki dan perempuan.
Karena pandangan umum, kata KUAT lazim diasosiasikan dengan lelaki. Bahkan emoji pun menggambarkan lengan dengan otot biceps yang menonjol.
Adakah yang berkenan mencoba obrolan ini selama liburan sepekan ke depan?
Rupa-rupa Wajah dan Mental Manusia ala Squid Game
Timun Merah: Si Mungil yang Kaya Nutrisi
Kisah Perempuan, Drama Korea dan Realita
“Make Me a Sandwich” Meme Stereotip untuk Perempuan Sebagai Penghuni Dapur