Seide.id -Gratis, kita pungut dari bahasa Belanda yang artinya cuma-cuma, percuma kata orang Malaysia. Tapi, cuma-cuma, artinya sangat berbeda dengan: percuma.
Barusan aku melihat postingan seorang teman. Suatu pemandangan sore dengan awan dan warna langit nan elok. Teman ini memotret dari dalam kendaraan yang sedang disopirinya. Aku rasa kepeka’an terhadap keindahan, mantan pekerja di lingkungan media dan insting seni-lah yang membuatnya (sampek istrinya menegur: lagi nyupir kok yo kober-kobere motret) mengabadikan keelokan nan gratis itu.
Elok,…gratis? Kita sudah terlanjur ‘menghakimi’ bahwa sesuatu nan gratis itu biasanya: ecek-ecek, remeh-temeh, murahan, ‘daripada gak ada’, daripada dibuang , atau istilah-istilah lain yang meremehkan. Bahkan sampai-sampai ada ungkapan: “Tak ada makan siang gratis!”…(agaknya hanya dunia politik yang bisa ‘melahirkan’ ungkapan seperti ini).
Di negri tropis, di mana mataharinya bersinar sepanjang tahun, keelokan paling mudah, begitu mudah diraih, gratis, bahkan tak perlu jauh melangkah atau ‘menggeser pantat’ dari pelataran rumah, kita bisa saja melihat atau diperlihatkan oleh semesta, suatu pemandangan menakjubkan, …gratis!
Orang-orang ‘bule’ atau para wisatawan dari mancanegara itu, jauh-jauh datang dari negrinya ke negri ini, konon salah satunya karena ingin menyaksikan keelokan awan-gemawan ketika senja, ketika matahari berangkat dan hilang menuju peraduan, terutama di pantai. Warna-warna langit dan awan ketika merefleksikan ‘after glow’, ..memang sungguh-sungguh elok, ajaib, magis dan sungguh menakjubkan untuk disaksikan. Bahkan sebagian orang akan mengatakan: “Bukan cuma menyaksikan, tapi bahkan “merasakan atmosphere dan sensasi” keelokan anugrah semesta itu.
Aku pernah bertetangga, bahkan bersebelahan rumah dengan mendiang JS, yang aku berani bilang: salah-seorang pewarta foto paling berbakat yang pernah dimiliki negri ini setelah KR, yang ‘kebetulan’ adalah atasannya.
Dunsanak harap membedakan antara pewarta foto dengan fotografer studio. Oh bukan, aku bukan ingin mengatakan bahwa pewarta foto itu lebih hebat dari fotografer studio. Sama sekali tidak.
Aku cuma ingin mengatakan bahwa, (juga) seorang teman, fotografer studio kondang yang foto-fotonya bagus dan banyak dipuji kliennya, mengatakan kurang-lebih begini: “Aku selalu mengagumi, foto-foto hasil jepretan pewarta foto (tentu saja yang bagus). Karena sekali pun dalam posisi terdesak dan ‘diteror’ deadline, …toh masih bisa ‘berfikir’ untuk menghasilkan foto-foto bagus. Tak terbayangkan (untuk menghasilkan foto bagus), jika harus bekerja dalam tekanan seperti itu!”
Aku dan mendiang JS, jika ngobrol, cukup dari halaman rumah masing-masing. Biasanya kami berbincang tentang hal-hal remeh-temeh saja. Pernah suatu sore, hari libur, ketika kami sedang berbincang, …tiba-tiba hari gelap, mendung. Awan hitam menggumpal-gumpal, berarak dan bergerak cepat dihembus angin, seperti berkejar-kejaran. Tak lama kemudian, hujan tutun dengan deras sekali. Terkena tampiyas cukup banyak, kami masuk ke dalam rumah masing-masing.
Tapi tak lama kemudian, hujan berhenti. Aku teringat ucapan JS, jika hujan deras sekelebat saja di sore hari, biasanya meninggalkan pemandangan alam yang menakjubkan. Anugrah semesta nan elok. Pemandangan yang dibuat oleh sinar matahari, langit dan awan. Benar saja. Aku intip dari kaca jendela, sinar kuning bersemu jingga seperti menyapu halaman! Aku keluar, ke halaman. Warna kuning bersemu jingga nan elok menakjubkan dan magis tersaji di langit. Pemandangan elok. Gratis!
Aku, setengah berteriak memanggil JS. JS ke luar rumah. Dia mendongak, tertegun beberapa saat. Lalu setengah berlari, masuk ke rumahnya.., mengambil kamera. Ceprat-cepret-ceprot. Dia seperti ‘hilang’ beberapa saat. Tenggelam ke dalam sesuatu yang…sulit bagiku untuk mengatakan perasaan apa gerangan namanya.
Setelah berterimakasih kepadaku karena telah memberitahunya untuk menyaksikan dan ‘merasakan’ panorama menakjubkan itu, kami kembali berbincang sambil sesekali mendongakkan kepala ke langit, menyaksikan anugrah semesta yang luar biasa itu.
Sesekali tetangga yang sedang berjalan-jalan sore, lewat. Yang mengerti, langsung ikut mendongak, menyaksikan, ikut mengagumi panorama menakjubkan itu. Yang tak mengerti atau ‘tak ngeh’ atas keelokan itu, bertanya-tanya setengah bergurau: “Ini bapak-bapak bertetangga, bersebelahan rumah, ngobrol sambil pada mendongak ke atas, pada melihat apa sih?”
“Emang elo gak melihat pemandangan dan suasana sore yang warnanya menakjubkan itu?”
Sang tetangga ikut mendongakkan kepala, lalu:. “Waaah.., warna langitnya ajaiiib. Apa warnanya ya?.. waah bentuk awannya…dst”
“Dan itu semua gratis!” potong JS.
“Aah,…yang satu fotografer, yang satu lagi ilustrator, klop-daaah”, gumam sang tetangga.
Lalu aku teringat potongan syair sebuah lagu:
…sinar matahari sore yang menakjubkan/ sinar miringnya dengan warna kuning bersemu jingga/ menyapu dinding rumah/ menciptakan bayang-bayang elok dari ranting-ranting yg menerpa dinding/ raungan ombak laut terdengar sayup-sayup/ kau asyik dengan sajak-sajak Emilly Dickinson/ aku tenggelam dalam puisi-puisi Robert Frost. (“Dangling Conversation” – Paul Simon)…
(Aries Tanjung)