Inklusi, Sekolah, Masyarakat, Apa dan Bagaimanakah?

Inklusi, Sekolah, Masyarakat, Apa dan Bagaimanakah?

“Anak ibu seharusnya sekolah di sekolah luar biasa.”

“Sudah pernah diajak konsul ke spesialis syaraf, Pak? Kayaknya, maaf nih anak bapak seperti terbelakang, yah. Kalau seperti itu kami rasa perlu belajar khusus, tak bisa disini.”

“Kita sih bisa terima, Pak, Bu, kalau anaknya cuma nakal saja. Tetapi ini ‘kan dia autis. Nanti kalo tantrum, lalu ngamuk … terus membahayakan anak lain, kita musti bagaimana pertanggungjawabannya kepada orang tua?”

Nah, pernah dengar kisah di atas, atau diri sendiri yang mengalami? Ketika anak kita bagaimana pun kondisi kebutuhan khususnya, mulai memasuki usia sekolah, respons-respons semacam itu akan sangat alami, dan mudah ditemui.

Memang , sepuluh tahun belakangan makin banyak sekolah yang berani memberi titel tentang inklusi, yang (jujur) akan menaikkan secara prestise dan tentu peringkat kedudukan sekolah di pemerintah. Kenyataannya, inklusi yang dimaksud belum teraplikasi secara total.

Pemahaman awal tentang inklusi saja yang (mungkin) dipenuhi. Misal menerima anak berkebutuhan khusus, maksimal satu kelas per anak. Menyediakan guru pendamping, dengan konsekuensi uang sekolah per bulannya menjadi lebih mahal.

Lalu, beberapa sarana dan prasarana  sekolah yang disesuaikan, misal Ramp untuk siswa yang berkursi roda di tiap lantai bertangga, kartu kata atau jam digital yang tersedia di dalam kelas untuk siswa disleksia, modul bahan pelajaran bersuara untuk siswa yang mengalami penurunan penglihatan, dll.

Adanya modul khusus untuk siswa berkebutuhan khusus, untuk tema sama tetapi pencapaian berbeda ini; sesungguhnya mampu menjadi poin yang bagus sekali untuk menyempurnakan titel sekolah inklusi.

Apalagi ditambah kadar pemahaman pendiri atau pengurus sekolah yang lebih baik, bukan saja perihal ketersediaan cukup guru pendamping (shadow teacher) yang  kompeten, guru-guru lain pun diberikan pelatihan untuk mengakomodir kebutuhan-kebutuhan khusus setiap anak.  

Berdasar pengalaman saya, pemahaman awal dengan konsep yang penting ada fasilitas, metode atau media khusus, sumber daya manusia mumpuni, belum cukup kuat untuk diberikan titel inklusi. Tanpa kerja sama, komunikasi dan koordinasi yang baik antara guru dan orang tua, serta bagaimana pemahaman seluruh bagian dari sistem sekolah tentang inklusi ini; faktanya juga menentukan apakah lembaga tersebut bisa dikategorikan inklusi.

UNESCO sendiri telah membuat definisi tentang pendidikan inklusi. Sebagai cara yang paling efektif untuk mengakomodir semua anak, memberi kesempatan yang adil untuk bersekolah, belajar, dan mengembangkan ketrampilan yang mereka butuhkan untuk berkembang.

Sistem yang inklusif, saya malah menyukai penyebutan EKOSISTEM yang inklusif akan menghargai keunikan setiap siswa dalam berkontribusi di dalam kelas, apapun kebutuhan khusus mereka. Hal tersebut memberi peluang setiap siswa bertumbuh kembang dengan saling melengkapi.

Hal yang jelas dari situasi ideal semacam ini, pembelajaran nilai-nilai positif bagi anak, seperti menghargai keberagaman dan mengapresiasi keunikan setiap orang. Dan, hal tersebut bukan hanya teori, tetapi bisa teramalkan dalam hidup sehari-hati.

Kondisi tersebut sungguh sempurna dan ideal sebagai lembaga pendidikan yang inklusif. Akan tetapi, pada kenyataannya proses untuk mewujudkan hal tersebut memerlukan perubahan di setiap level masyarakat kita.

Karena kata inklusi tidak hanya untuk anak atau individu yang berkebutuhan khusus, tetapi juga untuk anak-anak yang terpinggirkan karena situasi kondisi, filosofi, paham yang dipegang orang tua mereka, maupun anak-anak dari kelompok minoritas.

Mewujudkan institusi pendidikan yang inklusif, perlu diikuti juga pengkondisian masyarakat dan lingkungan yang juga inklusif dalam arti berupaya mengurangi stigma, labeling dan perlakuan diskriminatif.

Bila masyarakat masih menghargai hanya PRESTASI saja yang menjadi POTENSI siswa, kita perlu berefleksi lagi tentang makna pendidikan inklusif.

Tipe pendidikan inklusif yang pernah diungkapkan di laman FutureLearn mengelompokkan pembelajaran sebagai berikut:

Full inclusion

Model pengajarannya berpusat pada teori bahwa semua siswa adalah bagian dari kelas, tanpa terkecuali. Semua siswa apapun kebutuhan khususnya diapresiasi setiap pencapaiannya.

Bila sekolah mengadaptasi model ini, seluruh staf akan perlu memonitor secara intens kemajuan setiap siswa, dan memastikan seluruh perencanaan pengajaran mengakomodir setiap siswa apapun kebutuhannya.

Partial inclusion

Dalam model pengajaran ini, semua siswa dimungkinkan belajar dan berinteraksi di kelas utama. Namun, sesekali sesuai dengan kebutuhan khusus masing-masing, siswa akan belajar terpisah sesuai dengan kemampuan menonjol yang bersangkutan, dengan didampingi guru, atau tutor yang telah memahami bagaimana kondisi,  atau kebutuhan khususnya.

Inklusi parsial lebih fleksibel dengan adanya kelas utama dan kelas khusus terpisah, sesuai dengan kebutuhan khusus yang dimilikinya.

Model inklusi semacam ini telah diupayakan bertahun-tahun oleh PKBM Sanggar Anak Alam Yogyakarta, tempat sulung saya yang autis bersekolah dahulu.

Selain kelas khusus terpisah, ekosistem di pkbm tersebut memungkinkan situasi dan proses yang kondusif untuk sulung saya belajar. Di mana setiap org yang terlibat di dalamnya, atau dengan kata lain warga pkbm tersebut dibekali dan cukup memiliki pemahaman inklusi yang cukup baik.

Mainstreaming

Metode atau model inklusi ini memungkinkan siswa disabilitas bisa memulai proses belajarnya dalam sebuah ruangan dengan guru pendamping terlatih, terpisah dari kelas utama.

Siswa tersebut akan bisa bergabung, bila telah menunjukkan kesiapan mengikuti proses pembelajaran di kelas utama.

Metode ini juga memberikan waktu bagi siswa lainnya belajar ‘menerima keberadaan’ temannya yang berkebutuhan khusus.

Selain model-model inklusi yang dipaparkan di atas, berikut tips dari beberapa pegiat pendidikan inklusi tentang poin apa saja dalam merancang kelas, terutama dalam penentuan model pembelajaran.

• Setiap anak memiliki hak yang sama dalam mendapatkan akses, dan menempuh pendidikan

• Setiap kelas seharusnya merupakan perpaduan berbagai kemampuan. Mengelompokkan anak hanya berdasar kecerdasan intelektual saja, merupakan wujud diskriminasi, serta tidak mencerminkan esensi pendidikan itu sendiri, terutama pendidikan karakter

• Setiap aktivitas belajar mengajar di kelas, semaksimal mungkin mengakomodir kebutuhan setiap anak

• Setiap kelas, setiap fasilitas, sarana prasarana pendidikan bisa diakses setiap anak, apapun kebutuhan khususnya

• Dukungan diberikan kepada setiap anak secara setara, apapun kebutuhan khusus mereka

Sebelum mengakhiri tulisan bagian kedua ini, saya belum cukup berani merekomendasikan mana saja sekolah inklusi yang ideal untuk kebutuhan khusus setiap anak di Indonesia. Mengapa?

Selain belum meratanya akses pendidikan bagi setiap anak Indonesia, masih terbatasnya pemahaman masyarakat akan kebutuhan khusus, dan pendidikan yang inklusif, serta masih merupakan pekerjaan rumah setiap orang untuk tidak mudah memberi stigma buruk, dan atau mendiskriminasi anak atau individu yang ‘berbeda’.

Tulisan ketiga saya nanti akan mengulas tentang bagaimana tantangan setiap orang tua, guru dan pendidik untuk membekali anak agar tidak mudah ‘judging’ , dan atau diskriminatif terhadap temannya apapun kebutuhan khusus mereka. Silakan disimak lanjutannya minggu depan.

Parenting 101: Rasa Cinta, Kagum, Suka, dan Sayang, Tak (Seharusnya) Menyakitkan

Berbagi Virus Kebaikan  

Aplikasi Kecantikan di Medsos Bikin Penggunanya Mengalami Gangguan Psikologis

Avatar photo

About Ivy Sudjana

Blogger, Penulis, Pedagog, mantan Guru BK dan fasilitator Kesehatan dan Reproduksi, Lulusan IKIP Jakarta Program Bimbingan Konseling, Penerima Penghargaan acara Depdikbud Cerdas Berkarakter, tinggal di Yogyakarta