Menunggu, dapat memicu rasa malas yang membahayakan pribadi dan masa depan seseorang, alih-alh melakukan sesuatu yang produktif
“Duh, kok ya pas momentumnya ya, waktu perlu bantuan, tahu-tahu orang-orang yang dulu dibantu Bapak berdatangan mengulurkan tangan.”
“Ketika keputusan final untuk kami adalah program bayi tabung, seorang kerabat malah memberi informasi tentang proses hidrotubasi yang dilakukan dokter ahli di Jakarta. Ternyata progressnya bagus dan hanya treatment sebulan, istri saya sudah hamil.”
“Sejak keluar diagnosis Kakak yang autis, semua hal berubah. Kami diet bareng serumah, dan masih banyak hal lain yang diperbaiki.”
Tentang momentum, tentang ‘keajaiban’, tentang hal-hal yang tetiba berubah, yakin betul saya, di antara pembaca pasti pernah ada yang mengalami.
Pengalaman sebagai orang tua anak berkebutuhan khusus dalam hal ini Autism Spectrum Disorder memberi saya pelajaran tentang waktu yang sangat berarti.
Salah satunya tentang keinginan memutar waktu. Senantiasa akan ada kalimat seperti ini, bila ada yang menanyakan kabar si sulung.
Andai saya tahu dia autis dari usia 1 tahun, pasti akan segera saya terapi. Tentu hal itu bisa terjadi, bila saya punya pengetahuan tentang diagnosa autis lebih awal, yang berarti di usia 1 tahun si sulung tidak terlambat ditangani, diterapi, dintervensi dengan lebih baik, sehingga progressnya pun akan jauh lebih baik dari sekarang.
Namun, kebiasaan mengatakan hal itu bila diteruskan, tentu akan mengecilkan hati untuk tak patah harapan dengan si sulung. Bahwa selama hidup, selalu saja ada yang bisa diupayakan.
Momentum dalam kajian psikologi.
Pemikiran saya tentang memutar waktu, mungkin juga ada dalam benak orang tua lain. Berharap bisa mencegah, mengantisipasi, melakukan persiapan sejak mengetahui diagnosis, atau kebutuhan khusus anaknya.
Seperti kata Jack Kornfield, doktor psikologi klinis dan penulis gerakan Vipasanna di American Theravada Buddhism. “The trouble is, you think you have time.”
Tak hanya merasa kuasa memiliki, pada dasarnya manusia senang mengontrol waktu, bahkan merasa bisa mengulang yang terjadi, atau mengatur apa yang dan akan terjadi.
Namun, sepanjang perjalanan hidup, pada akhirnya kita menyadari. Waktu sesungguhnya punya nilai dan kuasa sendiri. Sesuai perkataan Harvey Mackay. Kolumnis yang meraih tujuh kali penghargaan penjualan buku-buku terlaris New York Times dengan tema nasihat karir dan inspiratif berikut.
Time is free, but it’s priceless. You can’t own it, but you can use it. You can’t keep it, but you can spend it. Once you’ve lost it you can never get it back.
Hal yang lebih bisa kita atur dan kuasai justru bukan waktu, melainkan momentum (sebagai penafsiran untuk menunjukkan saat yang tepat)
Bukankah ada banyak momentum dalam hidup kita yang menjadi titik balik dalam bersikap perilaku atau memiliki cara pandang tertentu?
Bisa saja sikap, perilaku, cara pandang berubah seratus delapan puluh derajat, berbeda sama sekali.
Momentum yang menjadi titik balik ini biasanya pengalaman singkat yang bermakna dan akan selalu tersimpan dalam memori.
Dalam kajian psikologi dikatakan, hal-hal yang pasti teringat terbagi menjadi tiga hal:
Terbaik : momentum yang membuat kita begitu gembira, bersemangat atau termotivasi. Semisal, disapa dan dikenali idola ketika jumpa fans. Atau menjadi termotivasi seusai mengikuti sesi acara tertentu, dan saat itu kita memang sedang membutuhkannya.
• Terburuk : momentum yang menyulitkan. Seperti kehilangan orang yang dicintai, baru didiagnosa penyakit berat
• Antara : momen pencapaian yang diinginkan. Seperti lulus sekolah, wisuda, menikah, diterima bekerja, mendapat promosi kenaikan jabatan.
Umumnya momentum di atas, lekat dan bermakna dalam diri dan tentunya memori kita. Meski tidak melulu terperinci.
Kembali pada pengalaman saya pribadi. Sebagai orang tua, ketika si sulung mendapat diagnosa autis, sepertinya dunia berhenti beberapa saat. Seketika pertanyaan-pertanyaan mengecilkan diri muncul. “Apa salah saya?” “Apa yang belum saya lakukan?” “Saya kurang apa?” “Saya gagal jadi ibu?”
Padahal kemudian saya temukan. Tak ada riset yang menunjukkan kesalahan atau kegagalan jadi ibu membuat seorang anak menjadi autistik. Bahkan bila dirunut, awal-awal saya terjun menjadi guru kelas 3 SD, semesta telah memberi petunjuk dengan menghadirkan seorang siswa yang merupakan anak autis.
Saat itulah momentum sebenarnya saya mengenali, mencari tahu, dan belajar paham tentang autisme.
Sebagai wali kelas, dan tentu sebagai diri sendiri saya terpicu dan terpacu untuk mencari tahu, belajar dan mengerahkan daya upaya dan kreativitas untuk memahaminya. Usaha itu jelas berhasil. Saya menjadi satu-satunya guru yang paling paham kondisinya di sekolah itu. Dia pun mulai bisa ‘dipahami’ juga oleh guru lain.
Upaya saya kepadanya malah berlanjut kepada keputusan orang tuanya untuk memindahkan anak tersebut ke sekolah dengan bahasa pengantarnya Bahasa Inggris. Hal ini saya temukan dari keengganannya berbahasa Indonesia saat berkomunikasi, dan kenyamanannya waktu berbahasa Inggris.
Hal yang lebih menggembirakan lagi, kabar tentangnya beberapa waktu kemudian. Si anak yang menjadi ladang belajar saya, yang awalnya sulit dipahami guru-guru, malah telah melanjutkan studi pendidikan film di belahan utara bumi ini.
Proses belajar saya dengannya, malah menjadi momentum belajar dan berkomunikasi dengan putra saya sendiri bertahun kemudian.
Jadi, tak ada yang kebetulan, bukan?
Alih-alih Menunggu, Mari Menciptakan
Adakah manusia yang tak seketika menunggu keajaiban ketika hal buruk terjadi?
Sayangnya ketika hal itu benar-benar terjadi, harapan kita makin membesar untuk hadirnya keajaiban yang lebih besar.
Jatuhnya serakah ya …
Atau, malah memicu rasa malas karena kita lebih memilih menunggu.
Alih-alih demikian, mengapa tidak kita ciptakan saja ‘keajaiban’ atau momentum ‘terbaik’ untuk orang-orang sekitar kita di hari-hari mendatang.
Memberi kejutan dengan memenuhi keinginan pasangan atau anak, ketika mereka benar membutuhkannya, tentu tanpa sepengetahuan mereka.
Hadir di acara sekolah, yang biasanya tak terpikirkan oleh anak-anak mungkin terjadi.
Secara diam-diam merencanakan acara selebrasi pencapaian pasangan atau anak, yang tak terpikirkan oleh mereka.
Mendadak menjemput pasangan sepulang dia bekerja lembur.
Atau bila dikaitkan dengan ekonomi, melihat peluang saat ada keramaian dengan berdagang minuman dingin dadakan, juga bisa dikatakan menciptakan momentum. Walau bisa saja dugaan kita meleset karena ternyata hari hujan dan minuman kita tidak laku.
Dan …
Dengan melakukan semua hal yang saya sebutkan di atas itu, bukankah telah dan mampu mendorong diri kita untuk berpikir ke depan dan bertindak kreatif? Tidak stagnan dan jalan di tempat saja.
Bagaimana?
Ada yang mau mencoba di tahun 2024, yang kurang dari puluhan jam lagi?
SEPUTAR CHEATING: Hal Penting Lain Dari Sekedar Mengurus Perempuan atau Lelaki Lain