Tiga Perempuan WNI yang Memilih Pekerjaan Tak Lazim di Australia

Tiga WNI di Australia

Menjadi perawat warga pengidap dimensia, intruktur pengemudi dan pekerja seni, menjadi cerita tiga WNI di Australia, sebagaimana ditulis oleh Farid Ibrahim untuk ABCNews Indonesia.

MENJADI perawat warga lanjut usia (lansia)  dan difabel masih jarang oleh WNI di Australia, apalagi perawat khusus orang demensia.  Andi Eka Pradiana  menjelaskan sudah hampir dua tahun dirinya merawat klien, seorang perempuan berumur 50 tahun yang terkena serangan demensia tahap lanjut atau ‘advance’.

Saat Eka memberitahu ibunya di Indonesia bahwa dia telah bekerja sebagai perawat orang demensia di Australia, orangtuanya sempat mempertanyakan hal itu. “Kata Mama saya, apa tidak salah nih kamu jadi perawat orang demensia?” ujarnya kepada Farid Ibrahim dari ABC Indonesia.

Merujuk Data Sensus Australia terbaru ada sekitar 73 ribu penduduk Australia berasal dari Indonesia.  Hasil sensus menunjukkan lima pekerjaan yang paling dikerjakan warga Indonesia di Australia adalah  ‘sales assistant’, akuntan, ‘chef’, ‘kitchenhand’, serta ‘commercial cleaner’ atau pembersih.

“Suaminya tak bisa merawat sendiri karena mereka punya tiga anak yang masih kecil. Akhirnya dia menyewakan rumah terpisah, sebuah apartemen dua kamar, buat perawatan istrinya,” jelasnya.

Andi Eka Pradiana menjelaskan pekerjaan sebagai perawat orang demensia memang berat namun terasa ringan apabila dijalani dengan penuh kesabaran. Pasien itu dirawat oleh Eka bersama lima perawat lainnya, selama 24 jam sehari yang dibagi menjadi tiga ‘shift’.

Eka yang menjadi koordinator bekerja mula pukul 6 sampai jam 3 sore.  Dia memandikan klien, menyiapkan makanan, menemani jalan-jalan hingga mengantar ke dokter adalah tugas sehari-harinya.  “Tantangannya itu kesabaran. Kalau orang demensia itu kan kita berhubungan dengan orang yang lupa, otaknya mengecil, apalagi yang sudah advance,” ujar Eka.

“Menangani orang demensia itu harus dengan cara sangat halus,” kata Eka, yang sebelumnya bekerja di panti jompo. “Gambarannya itu, seperti bayi. Kalau kita bawaannya kesal, pasti pasien kita juga kesal, “ jelasnya.

Ia mengaku senang menjalani profesinya karena bisa bekerja delapan jam di satu tempat.   Keluarga kliennya juga sangat mendukung, bahkan disiapkan mobil untuk mengantar klien kemana-mana, termasuk jalan-jalan ke ‘mall’ yang sangat disukainya.

“Dari segi gaji pun lumayan besar, lebih besar dari gaji kantoran. Kami dikasih dua kartu bank, yang satu buat belanja kebutuhan sehari-hari dan kartu satunya khusus buat kebutuhan medis klien,” ujar Eka.

“Di awal aku menangani klien ini, dia masih bisa ingat anjingnya. Masih ingat aktivitasnya, harus ke cafe kalau pagi. Kalau siang dibawa jalan, lalu ke toko makanan buat anjingnya terus ke restoran cepat saji,” paparnya.

“Seiring berjalannya waktu, dia sudah lupa segalanya. Dia tidak pernah lagi menanyakan mau kemana. Bahkan sekarang dia sudah tidak peduli lagi sama anjingnya,” kata Eka.

Dari konsultasi dengan dokter otak yang datang memeriksa kliennya setiap empat bulan, disebutkan bahwa seiring berjalannya waktu, klien Eka ini akan kehilangan berat badan, motoriknya melambat, akan semakin banyak tidur, kemudian akan muncul gangguan pencernaan.

“Dalam seminggu dua kali kami membawanya ke rumah suami dan anak-anaknya. Sekitar empat bulan lalu, dia masih ingat suaminya. Tapi sekarang sudah tidak lagi,” kata ibu dua anak ini.

“Sudah kosong rasanya. Sedih sekali melihatnya. Apalagi anak-anaknya masih kecil,” ujar Eka.

Selanjutnya, Farida Simanjuntak, instruktur mengemudi

SEIDE

About Admin SEIDE

Seide.id adalah web portal media yang menampilkan karya para jurnalis, kolumnis dan penulis senior. Redaksi Seide.id tunduk pada UU No. 40 / 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Opini yang tersaji di Seide.id merupakan tanggung jawab masing masing penulis.