Cerpen Jumat
Oleh: Effi S Hidayat
Gedoran di pintu rumah terdengar semakin keras. “Hei, siapa berani menganggu orang tidur… ,” kalimatnya yang bernada jengkel dipotong sapaan santun lelaki muda yang berdiri di depannya. Wajahnya yang tertutup topi tak begitu jelas di keremangan malam dan lampu teras yang temaram.
“Maaf, Daeng Tito tolong ikut saya! Ada kegaduhan di rumah Daeng Aziz. Kasihan ana’-nya…., “suaranya cemas dan panik, membuat Sang Kepala Desa yang kerap dipanggil Daeng Tito itu tak berpikir dua kali untuk segera mengikuti langkah lelaki muda yang setengah berlari cepat tanpa terengah itu.
Dan, pemandangan di rumah Daeng Aziz sungguh membuat jiwa tergoncang. Daeng Tito dan dua tetangga lain yang kebetulan bertemu di jalan, hanya mampu berdiri membeku. Dua anak perempuan berusia sekitar enam dan delapan tahun menangis meraung-raung. Keduanya tergeletak di lantai bersimbah darah.
Lelaki muda bertopi itu segera sigap memburu. Pertarungan sengit tak setimpal karena dia dikerubuti empat anggota keluarga sekaligus : Mangge Aziz, Ammak, dan kedua Toa’….
Untunglah pisau yang dipegang Daeng Aziz berhasil dirampas. Saat itu Daeng Tito dan dua lelaki dewasa lainnya tersadar, berusaha membantu. Mereka berusaha menenangkan Ammak yang mendadak histeris, melempar dan membuang sesuatu dengan mimik jijik dari genggaman tangannya. Sebilah pisau mengilat itu terlanjur memakan korban….
‘Apa itu?’ Daeng Tito spontan ingin tahu. Tetapi, sedetik dia menutup matanya dengan seluruh isi perut terasa mual ingin muntah. Benda putih berbintik hitam bulat sebesar kelereng penuh darah itu…? Benar saja! Dilihatnya Ana’, si bungsu Ine berteriak kesakitan memegangi mata kanannya yang berdarah. Mata yang sudah tanpa bola mata… ya, ya!
Daeng Tito gugup mencari hapenya di kantung jaket, lalu terburu menelepon pihak yang berwajib. Dia tak mungkin menanganinya sendirian. Ini bukan cuma kasus biasa dari seorang warganya, tetapi sekeluarga!
Dia melihat Ammak semakin menggerung, menangisi anak perempuan sulungnya yang kritis meregang nyawa akibat dilolohi … aduh, berapa liter ituuu air garam? Sungguh
realita gila di luar nalar!
Daeng Tito dan dua lelaki dewasa saling bertukar pandang bergidik. Polisi sudah tiba. Bertanya-tanya tentang sebab musabab peristiwa. “Masih untung kalian cepat datang”, seorang petugas bergumam ngeri melihat Ine, anak perempuan 6 tahun yang matanya bolong. Melolong-lolong kesakitan. Semua demi tumbal pesugihan!
Daeng Tito lalu teringat sesuatu. Dengan ekor matanya ia mencari lelaki bertopi, berbaju hitam yang mengajaknya pertama kali dan memberitahu bahwa ada kegaduhan hebat di rumah ini.
Ah, tetapi di mana lelaki itu? “Ke mana perginya dia, apakah Toa’ tahu? ” Dia bertanya-tanya kepada sepasang suami isteri, kakek dan nenek yang membantu anak serta menantunya mencelakai kedua cucu perempuan mereka sendiri.
Namun semua menggeleng dengan ekspresi ketakutan.
Di depan pintu, Daeng Tito melihat sekelebatan bayang lelaki muda yang dicari. Bersitatapan mata dengannya, dia menundukkan kepala, memberi salam berpamitan sebelum hilang di kelam malam.
“Tidak! Tidak! Pergi kau, pergi sanaaa! Jangan pernah datang lagi!” Kedua Toa’ tiba-tiba berteriak-teriak ketakutan, menatap ke arah yang sama dengan pandangan Daeng Tito yang kebingungan. Terlebih saat mendengar erangan lirih ana’ memanggil-manggil, “Purina, Purina, kau sudah datang selamatkan Ine! “
Purina? Purina alias Paman… siapa? Lelaki muda bertopi itukah? Daeng Tito semakin bingung. Maklum saja, ia baru menjabat sebagai Kades di sini. Belum tahu apa-apa … termasuk kasus peristiwa pesugihan yang banyak beredar di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.
Rupanya sungguhan, bukan kisah legenda belaka. Daeng Tito semakin lengkap mendengar dari petugas polisi yang berdinas. Bahwa, bertahun lalu keluarga Aziz ini pun pernah dilaporkan kehilangan seorang anak lelaki usia remaja. Tepatnya ia, Andi’ (adik) Aziz yang bernama Azha. Kasus kemudian ditutup karena ia tidak pernah diketemukan.
Daeng Tito tersentak, sesaat menyadari betapa mirip wajah itu dengan Aziz, sang kakak. Dagu tirus, batang hidung lurus, dan lekuk mata cekung yang tak semua orang punya. Mungkinkah dia orangnya yang dipanggil Purina alias paman oleh Ine, sang gadis kecil? Tetapi, kenapa dan ke mana
ia pergi?
Pertanyaan yang tak terjawab oleh Daeng Tito, tapi sejatinya diketahui oleh Daeng Aziz sekeluarga. Sebagai seorang kakak, juga kakak ipar, dan kedua orangtuanya sendiri….
Ya, ya.
Mereka semua telah tega hati mengorbankan Azha sebagai tumbal pesugihan jauuuh hari… bertahun-tahun lalu. Sampai ia datang kembali di hari ini. Malam Jumat ini.
Selintas pikiran yang sama sebetulnya, menyelinap di benak Daeng Tito. Di saat ia menyadari, bahwa lelaki muda bertopi dan berbaju hitam itu pun matanya tercungkil seperti bekas tersayat tanpa bola mata! Mungkinkah ia, sang purina yang telah datang dari dunia lain menyelamatkan keponakannya?
malamjumat9921hujanderas.
Note Bahasa Makasar :
Mangge : Ayah, Ammak : Ibu, Ana’: anak, Daeng: sebutan akrab untuk orang/anggota keluarga (kakak), Andi’: adik, Toa’: sebutan sama Kakek/Nenek, Purina: Paman.
Foto : Ilustrasi/ Istimewa/ Google